REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM— Dewan Fatwa Tertinggi Palestina mengutuk penggunaan istilah 'Abraham Accords', merujuk pada istilah perjanjian normalisasi antara Israel, Uni Emirat Arab dan Bahrain. Abraham Accords sendiri merupakan istilah dari tiga agama utama Abrahamik, Yudaisme, Islam dan Kristen.
Dewan Peradilan Islam yang mengatur urusan di bawah hukum Islam di Yerusalem timur, Tepi Barat dan Jalur Gaza, menganggap bahwa proyek agama Ibrahim, selain menargetkan kepercayaan Muslim, adalah penggunaan politik dari konsep agama Ibrahim.
Agama Ibrahim, kata dia, dijadikan untuk menguntungkan penjajah dan merupakan ancaman yang jelas bagi perjuangan bangsa kita, pertama dan terutama perjuangan Palestina dan Masjid al-Aqsa.
Dewan tersebut mengklaim bahwa mereka yang berada di balik penggunaan istilah "Abraham Accords" berusaha untuk mengkonseptualisasikan ulang peta Timur Tengah sejalan dengan peta Israel Raya. Mereka juga menganggap bahwa pemberian nama 'Abraham Accords' pada perjanjian normalisasi adalah sebuah bentuk penipuan. "Realitas perjuangan di tanah kami adalah untuk menghadapi pendudukan Zionis dan perusahaan pemukiman. Mereka yang mempromosikan perjanjian di bawah nama nabi Abraham melakukannya untuk membenarkan tindakan jahat mereka," ujar Dewan Fatwa Palestina dalam sebuah pernyataan yang dikutip di Jerusalem Post, Kamis (28/1).
Mereka juga memperingatkan bahwa seruan untuk mengikuti "agama Abrahamik modern berbahaya dan sama saja dengan kemurtadan."
Dewan tersebut memutuskan bahwa Muslim dilarang untuk mengikuti atau mendukung keyakinan Ibrahim yang baru, menambahkan bahwa mereka harus "menyangkal seruan ini dan mengungkap tujuan dan bahaya mereka yang sebenarnya."