REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Militer Myanmar membantah pemimpinnya mengancam akan melakukan kudeta atas dugaan penipuan pemilu, Sabtu (30/1). Media dinilai telah salah menafsirkan kata-kata Panglima Tertinggi, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Pernyataan dari militer atau Tatmadaw, mengatakan bahwa beberapa organisasi dan media menulis tanpa dasar bahwa militer mengancam akan mencabut konstitusi. Pernyataan tersebut mengatakan bahwa pidato Min Aung Hlaing diambil di luar konteks dan sebenarnya merupakan pengamatan kepada peserta pelatihan perwira senior tentang sifat konstitusi.
Min Aung Hlaing sebelumnya mengatakan kepada perwira senior dalam pidato pada Rabu (27/1) bahwa konstitusi dapat dicabut jika undang-undang tidak ditegakkan dengan benar. Kondisi mengkhawatirkan muncul setelah penyebaran kendaraan lapis baja yang tidak biasa di jalan-jalan beberapa kota besar.
Ketegangan politik di negara Asia Tenggara itu melonjak seminggu terakhir ini setelah juru bicara militer yang telah memerintah Myanmar selama lima dekade mengatakan kudeta tidak dapat dikesampingkan. Hal itu mempertimbangkan dugaan tentang kecurangan yang meluas dalam pemilihan November diabaikan.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa merebut 396 dari 476 kursi dalam pemilihan 8 November. Hasil ini memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan yang dipimpin oleh Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi, selama lima tahun lagi. Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung militer hanya memenangkan 33 kursi.
Baca juga : Militer Diduga Kudeta, Media Myanmar tak Bisa Siaran
Militer telah beberapa kali mengeluhkan kecurangan pemilu secara terbuka dan meminta pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum untuk meninjau hasilnya. Mereka mengatakan telah menemukan 8,6 juta ketidakberesan dalam daftar pemilih di 314 kota kecil. Hal itu dapat membuat pemilih memberikan banyak suara atau melakukan malpraktek pemungutan suara lainnya. Sedangkan Komisi pemilu mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim penipuan tersebut.
Militer menjalankan Myanmar selama sekitar 50 tahun sebelum memulai transisi ke demokrasi pada 2010. Konstitusi saat ini memastikan para jenderal negara tersebut mempertahankan pengaruh cukup besar dalam urusan negara dengan menjamin seperempat kursi di parlemen dan kendali sejumlah kementerian utama.
Militer tidak sendirian dalam mengkritik pemilu. Kelompok hak asasi independen sebelum dan sesudah pemungutan suara mengkritik pencabutan hak Muslim Rohingya dan pembatalan pemungutan suara di beberapa daerah.