Senin 01 Feb 2021 12:42 WIB

Ketika PPKM tak Efektif dan Lockdown tak Mungkin Dipilih

Bahkan PPKM di zona merah sekalipun tidak dirasakan lebih ketat.

Anggota Satlantas Polresta Bandung memberhentikan kendaraan saat operasi penyekatan dan pemeriksaan di Gerbang Keluar Jalan Tol Soreang, Kabupaten Bandung, Ahad (31/1). Operasi penyekatan dan pemeriksaan bagi setiap kendaraan luar daerah yang masuk ke Kabupaten Bandung tersebut digelar dalam rangka Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna mencegah penyebaran Covid-19 di wilayah Kabupaten Bandung yang saat ini berstatus zona merah Covid-19. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Anggota Satlantas Polresta Bandung memberhentikan kendaraan saat operasi penyekatan dan pemeriksaan di Gerbang Keluar Jalan Tol Soreang, Kabupaten Bandung, Ahad (31/1). Operasi penyekatan dan pemeriksaan bagi setiap kendaraan luar daerah yang masuk ke Kabupaten Bandung tersebut digelar dalam rangka Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna mencegah penyebaran Covid-19 di wilayah Kabupaten Bandung yang saat ini berstatus zona merah Covid-19. Foto: Abdan Syakura/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Adinda Pryanka, Febrianto Adi Saputro

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut pelaksanaan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali tak efektif menekan laju penambahan kasus positif Covid-19. Presiden pun meminta pemerintah menyiapkan langkah yang lebih sederhana dalam penanganan Covid-19 ini.

Baca Juga

Langkah apa yang akan diambil pemerintah? Para epidemiolog mayoritas menyarankan pemerintah melakukan lockdown atau minimal kembali ke Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ketat seperti saat awal pandemi.

Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menegaskan pemerintah tak akan menggunakan opsi lockdown atau karantina wilayah dalam mengendalikan penularan kasus. Sebab, kata dia, penanganan kesehatan khususnya pandemi ini sangat bergantung dengan kondisi perekonomian negara.

"Pada dasarnya pergerakan sektor kesehatan pun sangat bergantung dengan modal ekonomi. Oleh karena itu, sampai saat ini opsi lockdown tidak menjadi pilihan," kata Wiku kepada Republika, Senin (1/2).

Wiku menegaskan, pemerintah terus berusaha maksimal untuk menangani penularan wabah yang belum berakhir hingga kini.  Sekaligus mendorong pemulihan ekonomi karena terdampak pandemi. "Masukan Presiden menjadi input berarti bagi penanganan pandemi Covid-19 yang menyasar pada lintas sektoral," tambahnya.

Wiku mengatakan, saat ini Satgas sedang mengembangkan konsep posko yang merupakan perpanjangan tangan Satgas Daerah hingga ke tingkat RT/RW untuk melaksanakan pengawasan kebijakan PPKM termasuk kepatuhan protokol kesehatan. Pemerintah, lanjutnya, akan terus melakukan perbaikan melalui monitoring dan evaluasi setiap implementasi kebijakan, khususnya terkait efektivitas kebijakan dalam menurunkan kasus aktif, kematian, kesembuhan, dan juga BOR di rumah sakit.

"Konsep posko ini masih dalam tahapan pembahasan dan akan lebih merinci untuk fungsinya," ucapnya.

Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menyebutkan, tingkat efektivitas PPKM yang sudah berjalan hampir sebulan terakhir masih kurang dari 30 persen. Tri mengatakan, masih banyak kekurangan dalam implementasinya, mulai dari konsistensi kebijakan hingga pengawasan.

Seiring dengan peningkatan kasus yang sangat tinggi dan mulai penuhnya kapasitas fasilitas kesehatan, Tri menuturkan, penerapan PPKM seharusnya diberlakukan secara ketat. Khususnya untuk daerah yang berada di zona oranye dan merah.  

Tapi, selama ini, Tri menilai, penerapan PPKM di dua zona tersebut justru terbilang sedang hingga ringan. "Dampaknya, efektivitasnya pasti rendah sekali, tidak sebanding dengan penyebaran kasus yang terus meningkat," tuturnya saat dihubungi Republika.

Tidak hanya pembatasan aktivitas, Tri menambahkan, zona oranye dan merah juga harus mendapatkan prioritas untuk penerapan 3T (testing, tracing dan treatment). Kebijakan ini untuk menekan laju penyebaran virus corona dari daerah pusat penyebarannya.

Di sisi lain, Tri berpandangan, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten semakin menahan tingkat efektivitas PPKM. Sejak dimulai dari PSBB hingga new normal, pemerintah kerap berganti kebijakan untuk membatasi aktivitas sosial dan ekonomi. Inkonsistensi juga kerap terjadi antara pusat dengan daerah.

Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat dan pihak yang mengawasi di lapangan kerap kebingungan dalam mengimplementasikan pembatasan. "Pemerintah harus segera meningkatkan konsistensinya dalam pembuatan kebijakan dan penerapannya," ucap Tri.

Dampak kelanjutan dari kebijakan pusat yang tidak konsisten itu adalah tingkat pengawasan menjadi rendah. Tri memberikan contoh, kebijakan Working From Home (WFH) 75 persen pada saat PPKM yang tidak terpantau oleh pemerintah atau Satgas Covid-19 di kantor pemerintah ataupun swasta.

Rendahnya pengawasan ini dibarengi dengan penegakan hukum yang tidak tegas. Misalnya saja sanksi Rp 250 ribu untuk mereka yang tidak mengenakan masker. "Ini terlalu kecil, sehingga banyak yang melanggar. Coba sanksinya Rp 5 juta, pasti pada takut," kata Tri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement