Kamis 04 Feb 2021 11:50 WIB

AS Prioritaskan Sanksi untuk Myanmar

Militer Myanmar mengambil alih kepemimpinan dari tangan Aung San Suu Kyi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara militer tiba di sebuah kuil Hindu di pusat kota di Yangon, Myanmar, Selasa (2/2). Pada Senin (1/2), militer Myanmar memberlakukan jam malam di seluruh negeri tak lama setelah mengambil alih kekuasaan atas negara itu dalam kudeta dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun.
Foto: EPA-EFE / LYNN BO BO
Tentara militer tiba di sebuah kuil Hindu di pusat kota di Yangon, Myanmar, Selasa (2/2). Pada Senin (1/2), militer Myanmar memberlakukan jam malam di seluruh negeri tak lama setelah mengambil alih kekuasaan atas negara itu dalam kudeta dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) sedang meninjau sanksi yang akan diberikan kepada Myanmar sebagai tanggapan atas kudeta militer. Sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan, pemberian sanksi kepada Myanmar menjadi prioritas bagi Pemerintah AS.

"Saya belum bisa memastikan kapan (sanksi akan diberikan), tapi ini prioritas. Kami sedang meninjau otoritas sanksi kami dan melihat di mana ada tindakan yang harus diambil," ujar Psaki.

Baca Juga

Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden memerintahkan peninjauan untuk mempertimbangkan penerapan kembali sanksi akibat kudeta militer terhadap hasil pemilu. AS mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan negara tersebut menuju demokrasi.

"Pembalikan kemajuan itu akan membutuhkan peninjauan segera terhadap hukum dan otoritas sanksi kami, diikuti dengan tindakan yang sesuai," ujar Biden.

AS melihat Myanmar sebagai negara dengan kemajuan demokrasi. Transisi Myanmar pada awalnya dilihat sebagai kisah sukses besar dari pemerintahan mantan presiden Barack Obama. Negara tersebut ditempatkan secara strategis yang terlihat bergerak menuju demokrasi dan menjauh dari orbit China.

Baca juga : Islam di Myanmar, Pernah Lampaui Jumlah Umat Budha Lokal

Militer mengambil alih kekuasaan lewat kudeta pada Senin (1/2) dengan menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Sejak itu jenderal Min Aung Hlaing menunjuk dirinya sendiri memimpin pemerintahan setelah menyatakan keadaan darurat selama satu tahun. Mereka yang ditahan selain Suu Kyi, adalah Presiden Myanmar Win Myint, serta tokoh senior dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Pada Rabu (3/2), Suu Kyi resmi didakwa atas kepemilikan sejumlah alat komunikasi walkie-talkie yang dikategorikan ilegal. Suu Kyi dianggap melanggar undang-undang impor dan ekspor Myanmar. Penandatangan pengadilan bakal memakan waktu dua pekan atau hingga 15 Februari. Hal ini membuat Suu Kyi sah untuk ditahan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement