REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Seruan untuk menggelar lebih banyak protes massa menyeruak di Myanmar, Senin (8/2). Semangat ini mengemuka setelah puluhan ribu warga Myanmar turun ke jalan di Kota Yangon pada Ahad (7/2) untuk memprotes kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Aksi massa pada Ahad (7/2) merupakan pengumpulan massa terbesar sejak Revolusi Saffron 2007 yang dipimpin oleh para biksu Buddha untuk mendorong reformasi demokrasi. Namun kudeta 1 Februari membalikannya sehingga masyarakat kian berani menentang militer.
"Para demonstran dari setiap sudut Yangon, silakan keluar dengan damai dan bergabunglah dengan pertemuan rakyat," ujar aktivis Ei Thinzar Maun melalui Facebook yang menggunakan jaringan VPN untuk menggalang pengunjuk rasa, dikutip laman Channel News Asia, Senin.
"Lokasi dan waktu akan diumumkan kemudian," kata mantan pemimpin mahasiswa yang muncul sebagai salah satu wajah gerakan protes baru itu.
Sejauh ini aksi massa berlangsung damai, tidak seperti penumpasan berdarah selama protes luas sebelumnya pada 1988 dan 2007. Sebuah konvoi truk militer terlihat lewat ke Yangon pada Ahad malam sedikit menimbulkan ketakutan yang bisa berubah. Reuters tidak dapat menghubungi militer untuk mengomentari protes tersebut dan televisi pemerintah tidak menyebutkannya.
Layanan internet sempat diblokir Sabtu (7/2), dan kembali pulih pada Ahad. Aksi massa ini menjadi bentuk dukungan kepada pemimpin partai National League for Democracy (NLD), Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint yang ditahan bersama politisi lain sejak kudeta militer.
Baca juga : Kisah Sosok Zaim Saidi Yang Hebohkan Dinar dan Dirham