REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Satuan pendidikan memiliki andil penting dalam memberikan pendampingan, pengawasan, dan pemahaman terkait pendidikan kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. Hal ini diharapkan dapat menghindarkan peserta didik dari jeratan perkawinan anak.
"Satuan Pendidikan, terdiri Sekolah Ramah Anak dan Madrasah Ramah Anak harus turut berperan mencegah terjadinya perkawinan anak. Jika perkawinan anak tidak terjadi, maka WAJAR 12 tahun akan terpenuhi karena anak-anak tidak putus sekolah," kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin, dalam keterangannya, Jumat (19/2).
Berdasarkan data Susenas 2018 perempuan yang menikah sebelum 18 tahun 4 kali lebih kecil dalam menyelesaikan pendidikan SMA ke atas, dibandingkan dengan yang menikah 18 tahun atau lebih. Perempuan sebelum 18 tahun paling banyak hanya menyelesaikan pendidikan SMP sederajat, yakni 45 persen.
Di dalam mencegah perkawinan anak, pendidikan kesehatan reporduksi dan kesetaraan gender di satuan pendidikan menjadi penting dilakukan. Berdasarkan Riskedas 2018, sebesar 5,3 persen anak usia sekolah dan remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah.
Rektor Universitas YARSI, Fasli Jalal mengimbau seluruh pihak, utamanya pemerintah untuk memberikan beasiswa bagi perempuan masuk ke perguruan tinggi. Hal ini supaya mereka terhindar dari perkawinan anak. Kebijakan ini bisa dilakukan terutama bagi keluarga yang terancam menikahkan anaknya pada usia muda.
"Jika kita bisa menyediakan afirmasi beasiswa pendidikan tinggi bagi mereka secara khusus, terutama di daerah dengan angka perkawinan anak tinggi, maka akan menghindarkan mereka dari kemungkinan dinikahkan pada usia anak. Selain itu, memberikan keterampilan dan permodalan bagi remaja perempuan dapat membantu mereka agar tidak mudah terjerumus dalam perkawinan anak," kata Fasli.