REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Kantor Bank Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT) mencatat transaksi digital menggunakan kode respons cepat Quick Response Indonesia Standard (QRIS) selama 2020 sudah mencapai Rp 2,2 miliar.
Kepala Perwakilan BI NTT, I Nyoman Ariawan Atmaja mengatakan, terjadi peningkatan penggunaan QRIS di NTT dibandingkan 2019. Pada 2019 ada 9.662 pedagang atau UMKM yang menggunakan QRIS. Pada 2020 jumlahnya meningkat menjadi 32.211 pedagang.
"Nilai transaksinya sudah mencapai Rp 2,2 miliar," ujar Nyoman kepada wartawan di Kupang, Senin (22/2).
Pedagang di NTT yang sudah menggunakan QRIS sendiri tersebar di Kota Kupang dengan jumlah pengguna QRIS mencapai 10.742 pedagang, Rote 528 pedagang, Timor Tengah Selatan (TTS) 993 pedagang, Malaka 299 pedagang, Timor Tengah Utara (TTU) 801 pedagang pedagang, Sabu Raijua 118 pedagang.
Kemudian di Kabupaten Sumba Timur 870 pedagang, Sumba Tengah 100 pedagang, Sumba Barat 278 pedagang, Sumba Barat Daya (SBD) 417 pedagang, Manggarai Barat 1.746 pedagang, Manggarai Timur 320 pedagang, Manggarai 1.246 pedagang, Ngada 618 pedagang, Nagakeo 511 pedagang , Ende 5.169 pedagang, Sikka 2.713 pedagang, dan kabupaten Flores Timur 1.698 pedagang.
Menurut dia, penggunaan QRIS dapat mendorong kemajuan sektor pedagangan khususnya di pasar tradisional dan UMKM. Selain itu, penggunaan QRIS juga mempercepat akses keuangan bagi pelaku usaha sehingga memperluas inklusi keuangan.
"Potensi peningkatan jumlah pedagang yang menggunakan QRIS masih cukup besar jika dilihat dari jumlah pedagang pasar dan UMKM di NTT," kata dia.
Nyoman menjelaskan, sejak QRIS diluncurkan, berbagai kemajuan cukup pesat telah dicapai. Sampai dengan saat ini sudah terdapat 48 penyelenggara berizin untuk menyelenggarakan QRIS dari Bank Indonesia. Hingga 11 Februari 2021, pedagang yang sudah terdaftar dan memasang QRIS mencapai 6,2 juta unit di seluruh Indonesia.
Dalam situasi pandemi seperti saat ini, kebutuhan digitalisasi semakin meningkat. "Mau tidak mau, para pedagang harus terbiasa menggunakan teknologi termasuk dalam hal bertransaksi," kata Nyoman.
Adanya potensi penyebaran virus melalui uang tunai menyebabkan semakin banyak yang meninggalkan uang tunai sebagai alat pembayaran dan memilih bertransaksi nontunai. Hal ini mendorong peningkatan transaksi nontunai beberapa bulan terakhir.