REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Akhlak yang Islami adalah prinsip dan aturan yang mengatur perilaku manusia berdasarkan wahyu untuk mengatur kehidupan seseorang. Dengan demikian seorang Muslim bisa mencapai tujuan hidup di dunia ini dengan cara yang baik.
Dalam berbagai riwayat, dipaparkan mengenai akhlak Rasulullah SAW dalam hubungannya dengan non-Muslim. Salah satunya adalah ketika Nabi Muhammad SAW hendak dibunuh kaum Musyrik.
Dampak kekalahan kelompok Musyrik pada Perang Badar, membuat mereka geram terhadap Nabi SAW. Sehingga mereka berencana membunuh Nabi SAW. Tokoh yang menonjol dalam rencana ini adalah Umair bin Wahab, yang selamat dari Perang Badar.
Namun anaknya menjadi tawanan di kaum Muslimin saat itu. Umair khawatir kaum Muslimin akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap anaknya atas dosa-dosa bapaknya.
Di suatu pagi, Umair menuju masjid untuk thawaf di Ka'bah dan memohon keberkahan kepada berhala-berhalanya, dia melihat Sofwan bin Umayyah yang sedang duduk di sisi Hijir. Dia mengucapkan, "Im habahan (salam jahiliyah), sayid Quraisy." Lalu dijawab Sofwan berkata, "Im shabahan (jawaban salam jahiliyah), Abu Wahab. Duduklah, kita berbicara sebentar."
Kemudian mereka bicara mengenang Badar, mengenang musibahnya yang besar, dan menghitung tawanan yang jatuh di tangan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka berduka atas kematian para pemuka Quraisy di ujung pedang kaum Muslimin dan dilemparkannya jasad mereka ke dasar sumur di Badar. Sofwan berkata, "Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini sesudah mereka." Umair berkata, "Kamu benar, demi Allah."
Kemudian Umair terdiam sebentar lalu dia berkata, "Demi Rabb Ka'bah, kalau aku tidak memikul utang yang belum bisa aku lunasi dan keluarga yang akan terlunta-lunta sesudahku, maka aku akan pergi kepada Muhammad dan membunuhnya, aku akan habisi perkara dan mengakhiri keburukannya."
Umair melanjutkan dengan suara pelan, "Keberadaan anakku Wahab di antara mereka membuat kehadiranku ke Yatsrib tidak menimbulkan kecurigaan pada mereka."
Lalu Sofwan menimpalinya, "Umair, biarkan aku yang memikul seluruh utang-utangmu, aku akan melunasinya. Dan keluargamu, akan kutanggung kehidupan mereka bersama dengan keluargaku, selama aku masih hidup. Hartaku melimpah, cukup untuk membiayai mereka dan membuat mereka hidup makmur."
Umair pun setuju dan meminta untuk tidak mengatakan kepada siapa pun. Sofwan pun menjamin ucapannya. Kemudian Umair meninggalkan al-Haram dengan bencinya terhadap Nabi Muhammad.
Dia pun pergi untuk melaksanakan tekadnya tanpa perlu khawatir dicurigai oleh seseorang dalam perjalanannya karena dia termasuk orang-orang Quraisy yang masih mempunyai urusan dengan kaum Muslimin terkait dengan tawanan perang Badar.