REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan akan mendalami setiap informasi yang diterima lembaganya. Pernyataan tersebut ia sampaikan terkait desakan agar lembaga antirasuah turut mendalami adanya dugaan keterlibatan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah dan sejumlah orang-orang terdekatnya dalam memuluskan operasi tambang pasir laut di Pulau Kodingareng dan proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP).
"Tentu semua informasi yang diterima KPK akan kami tampung dan kami tindak lanjuti," ujar Firli di Gedung KPK Jakarta, Ahad (28/2).
Firli menekankan, lembaganya tidak pernah menutup diri dari infomasi dari berbagai pihak. "Karena tidak ada orang bisa sukses tanpa orang lain, termasuk KPK. Karenanya kami mengapresiasi informasi yang disampaikan tadi," kata Firli.
Mantan Bupati Bantaeng itu baru saja ditetapkan sebagai tersangka kaus suap pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel. Nurdin terkena operasi tangkap tangan (OTT) di Kota Makassar, Jumat (26/2) malam menjelang dini hari Nurdin pun dijebloskan ke Rumah Tahanan (Rutan) KPK cabang Pomdam Jaya Guntur.
Desakan pengembangan perkara terhadap Nurdin ini disuarakan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Koordinator Jatam Merah Johansyah menyatakan, penangkapan Gubernur Nurdin oleh KPK menjawab sejumlah dugaan dari warga di Pulau Kodingareng dan Koalisi Selamatkan Pesisir, serta Koalisi Selamatkan Laut Indonesia.
Merah Johansyah mengungkapkan, terdapat 15 izin usaha pertambangan di wilayah tangkap nelayan Kodingareng yang mendapat izin dari Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah. Dari 14 IUP itu, empat perusahaan di antaranya bersatus operasi produksi, antara lain PT Banteng Laut Indonesia, PT Alefu Karya Makmur, PT Nugraha Indonesia Timur, dan PT Berkah Bumi Utama.
"Dari empat perusahaan di atas, dua perusahaan, yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Alefu Karya Makmur ditetapkan sebagai pemenang tender untuk penyediaan pasir laut bagi proyek reklamasi Makassar New Port," kata Merah dalam keterangannya
Menurut Merah, perusahaan pemenang tender itu ditentukan oleh PT Pelindo IV, dan kuat dugaan terdapat pengaruh dari Gubernur Nurdin. Dugaan ini beralasan, kata dia, sebab, pemilik, pemegang saham, dan pengurus dari PT Banteng Laut Indonesia adalah orang-orang terdekat sang gubernur.
"Akbar Nugraha (Direktur Utama), Abil Iksan (Direktur), dan Fahmi Islami (Pemegang Saham) PT Banteng Laut Indonesia merupakan mantan tim pemenangan pasangan Nurdin Abdullah–Sudirman Sulaiman pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada 2018 lalu. Saat itu, pasangan Nurdin–Sulaiman diusung Partai PDI Perjuangan, PAN, dan PKS, serta didukung PSI," kata Merah.
Dia menyebut, dalam kaitan dengan proyek reklamasi Makassar New Port, Nurdin diduga mengambil keuntungan proyek strategis nasional itu, melalui perusahaan koleganya, PT Banteng Laut Indonesia. Adapun Komisaris Utama PT Banteng Laut Indonesia adalah Sunny Tanuwidjaja yang merupakan mantan staf khusus era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan sekretaris dewan pembina Partai Solidaristas Indonesia (PSI).
Sementara dalam perkara yang menjeratnya kini, Nurdin diduga menerima suap sebesar Rp 2 miliar dari Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB) Agung Sucipto melalui Sekretaris Dinas PUPR Provinsi Sulawesi Selatan Edy Rahmat. Tak hanya suap, Nurdin juga diduga menerima gratifikasi dengan total nilai Rp 3,4 miliar.
Kepada awak media, Nurdin mengaku kaget saat mengetahui Edy Rahmat yang merupakan orang kepercayannya menerima suap dari Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB) Agung Sucipto.
"Tidak tahu apa-apa kami, ternyata si Edy itu melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya, sama sekali tidak tahu. demi Allah, demi Allah," ucap Nurdin.
Diduga suap diberikan guna memastikan agar Agung bisa mendapatkan kembali proyek yang diinginkannya di tahun 2021. Atas perbuatannya sebagai penerima Nurdin dan Edy disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan sebagai pemberi, Agung disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.