REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pentagon menyatakan keprihatinan terkait laporan PBB tentang aktivitas nuklir Korea Utara (Korut). Kepala Intelijen untuk Komando Indo-Pasifik AS Michael Studeman mengatakan, aktivitas Korut dimaksudkan untuk mendapatkan perhatian pemerintahan Presiden Joe Biden agar meringankan sanksi.
"Kami mengawasi ini dan sangat memperhatikan ke mana arah Korut," ujar Studeman.
Sebelumnya, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan, Korut tetap menjalankan program nuklirnya di tengah sanksi dari PBB dan Amerika Serikat (AS). Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi mengatakan, IAEA sedang meningkatkan kesiapan untuk memainkan peran penting dalam melakukan verifikasi terhadap program nuklir Korut.
AS menjatuhkan serangkaian sanksi ekonomi kepada Korut karena melakukan program pengembangan senjata nuklir. Mantan Presiden AS Donald Trump, dan Pemimpin Korut Kim Jong-un sudah dua kali bertemu untuk berunding masalah denuklirisasi serta penghapusan sanksi di Singapura dan Vietnam.
Akan tetapi, pertemuan itu gagal mencapai kesepakatan. Setelah itu, Korut kembali meningkatkan ketegangan melalui serangkaian uji coba rudal.
Kim juga menyerukan untuk melanjutkan kembali produksi senjata nuklir.
Dia berjanji untuk menempatkan kemampuan pertahanan negara pada tingkat yang jauh lebih tinggi, ketika meluncurkan rudal balistik baru. Korut terakhir kali melakukan uji coba nuklir pada 2017.
Satu tahun kemudian, Korut menyatakan bahwa mereka telah meledakkan terowongan di lokasi uji coba nuklir utama di Punggye-ri. Mereka mengklaim peledakan tersebut sebagai bukti komitmennya untuk mengakhiri uji coba nuklir.
Mengacu pada pernyataan IAEA, Studeman mengatakan bahwa aktivitas program nuklir Korut dapat meningkatkan ketegangan hubungan dengan AS. Menurut Studeman, aktivitas nuklir Korut digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk mendapatkan keringanan sanksi.
"Ini mungkin awal dari sesuatu yang dirancang untuk mempengaruhi pemerintahan Biden. Ini mungkin cara pertama untuk mendapatkan perhatian pemerintahan baru di sini, di mana mungkin (Korea Utara) akan menggunakan pengembangan pemrosesan ulang ini sebagai alat tawar-menawar untuk keringanan sanksi," kata Studeman.