Senin 08 Mar 2021 18:57 WIB

Perjalanan Panjang Ulama Perempuan Sejak Zaman Rasulullah

Banyak para perempuan yang menjadi ulama yang memainkan peran beragam

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Subarkah
Rahmah el-Yunusiah ulama perempuan di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Foto: google.com
Rahmah el-Yunusiah ulama perempuan di Padang Panjang, Sumatera Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Tidak hanya laki-laki, ada banyak ulama perempuan yang berkontribusi terhadap peradaban Islam. Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Cirebon sekaligus anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), KH Husein Muhammad, mengatakan, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan, yakni membebaskan penindasan, diskriminasi, subordinasi, dan kebodohan menuju perwujudan yang setara.

Sejak zaman Nabi Muhammad, sudah ada perjuangan untuk mengubah rekonstruksi kultural sistem penindasan patriakisme. Sang istri, Khadijah, selalu mendukung dan menemani dia. Setelah era Nabi, lahirlah banyak ulama dan cendekiawan perempuan.

“Ada banyak sekali para perempuan yang menjadi ulama. Mereka memainkan peran yang beragam,” kata KH Husein dalam gelar wicara Ulama Perempuan dalam Perjalanan Sejarah Hingga Kini di kanal Youtube Swararahima dotcom.

Dia menyebut, Direktur Pusat Studi Islam dan Gender di Maroko, Dr Asma al-Murabit, pernah mengatakan, “Kuliah keilmuan Islam diikuti oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan. Kami tidak menemukan dalam generasi Islam awal, para cendekia yang tidak belajar kepada perempuan, kecuali beberapa saja. Pendidikan diberikan untuk laki-laki dan perempuan secara sama, dan tidak ada pemisah (segregasi) ruang antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, jarang sekali seorang ulama laki-laki yang tidak belajar kepada perempuan ulama.”

KH Husein menjelaskan, ada beberapa ulama yang berperan penting dalam perkembangan Islam. Pada generasi awal, Sayyidah Sukinah yang merupakan putri Imam Husein bin ali, cucu Imam Ali bin Abi Thalib, membuat perjanjian pranikah yang harus ditandatangani oleh suaminya. Isi perjanjian itu adalah tidak boleh mengambil perempuan lain sepanjang hidup bersama, tidak boleh ada rahasia dalam hal keuangan, dan tidak boleh melarang aktivitas di luar jika dirinya menghendaki itu.

“Pendiri mazhab Syafi’i, Imam asy-Syaifi’i, bahkan belajar dari ulama perempuan, yakni Sayyidah Nafisah. Setiap sore, dia berdiskusi dengan Sayyidah Nafisah,” ujar dia.

Selain Sayyidah Nafisah, ada pula Zubaidah binti Abu Ja’far al-Manshur. Dia adalah seorang putri Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Zubaidah adalah tokoh di balik pusat peradaban Islam saat itu. Selain menghafal Alquran, dia juga menyukai seni dan sastra.

“Ulama atau cendekiawan perempuan dalam berbagai macam perkembangan pengetahuan hanya ada dalam tiga abad. Memang kejayaan Islam ada pada tiga abad pertama karena intelektualisme saat itu berkembang. Setelah itu terjadi ruang perdebatan di banyak tempat antara laki-laki dan perempuan,” ucap dia.

Di sisi lain, keruntuhan satu per satu kerajaan Islam dari dua sisi, yakni perang salib dan serangan Mongol yang akhirnya menghancurkan seluruh peradaban Islam. Menurut dia, kemungkinan dari faktor tersebut membuat perempuan kembali dirumahkan. Sarjana Suriah, Dr. Muhammad al-Habasy dalam bukunya berjudul al-Mar’ah baina asy-Syari’ah wa al-Hayah menjelaskan peminggiran kaum perempuan didasarkan pada argumen “sadd adz-dzari’ah” atau menutup pintu kerusakan

Keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan dan aktivitas mereka di ruang publik dipandang bisa atau berpotensi menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” atau penyimpangan moral.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement