REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3), pada saat Media Briefing secara telekonferensi (12/3), memberikan penjelasan mengenai Pengelolaan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
Direktur Jenderal PSLB3, Rosa Vivien Ratnawati menyampaikan bahwa material FABA yang menjadi limbah non B3 hanya dari proses pembakaran batubara di luar fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, seperti antara lain PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker. Sedangkan dari Fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri, tetap katagori Limbah B3 yaitu Fly Ash kode limbah B 409 dan Bottom Ash kode limbah B 410. Walaupun dinyatakan sebagai Limbah non B3, namun penghasil limbah nonB3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan.
Lebih lanjut disampaikan bahwa dalam PP nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, telah diatur bahwa pengelolaan limbah harus melaksanakan prinsip kehati-hatian atau precautionary principle oleh penghasil atau jasa pengolah atas seluruh jenis limbah baik limbah kategori limbah B3 ataupun limbah non B3 yang meliputi:
(a) Upaya pengurangan limbah atau Waste minimisation, (b) Pengelolaan dari mulai dihasilkan hingga ditimbun atau From cradle to grave, (c) Pengelolaan dengan prinsip ekonomi sirkular atau From cradle to cradle, (d) Penghasil bertanggungjawab atas pencemaran atau Polluter Pay, (e) Kedekatan pengelolaan limbah dengan lokasi pengolahan atau Proximity dan (f) Pengelolaan berwawasan lingkungan atau Environmentally Sound Management.
"Dalam PP Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan limbah B3 dilaksanakan berdasarkan Persetujuan Teknis (Pertek) dan dilengkapi dengan Surat Layak Operasional (SLO), dan pengelolaan limbah nonB3 persyaratan dan standar pengelolaannya tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan," kata Vivien.
Selanjutnya, material FABA yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada fasilitas stoker boiler dan/atau tungku industri tetap dikategorikan sebagai limbah B3, sedangkan FABA dari proses pembakaran di luar jenis itu, seperti di PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker tidak lagi dikategorikan sebagai limbah B3 dengan beberapa pertimbangan, antara lain pembakaran batubara di kegiatan PLTU pada temperatur tinggi sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan.
Hal ini yang menyebabkan FABA (dan juga CCP/Coal Combustion Products) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, subtitusi semen, jalan, tambang bawah tanah (underground mining) serta restorasi tambang. Selain itu, dalam hal pembakaran batubara dilakukan pada temperatur rendah, seperti yang terjadi di tungku industri kemungkinan terdapat unburnt carbon di dalam FABA masih tinggi yang mengindikasikan pembakaran yang kurang sempurna dan relatif tidak stabil saat disimpan, sehingga masih dikategorikan sebagai limbah B3.
Vivien menegaskan, meskipun FABA dari kegiatan PLTU dikategorikan sebagai limbah nonB3, namun persyaratan pengelolaannya tetap harus memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan, misalnya persyaratan teknis dan tatacara penimbunan FABA, persyaratan teknis dan standar pemanfaatan FABA, sehingga precautionary principle untuk perlindungan lingkungan tetap menjadi kewajiban penghasil atau pengelola limbah.
Terakhir, Vivien mengungkapkan bahwa di negara lain seperti Jepang, Eropa, Amerika Serikat bahwa FABA dari PLTU juga dikategorikan sebagai limbah nonB3 namun tatacara dan standar pengelolaanya sama dengan tatacara dan standar pengelolaan yang diterapkan di Indonesia.