Senin 15 Mar 2021 07:59 WIB

APBI: Pengelolaan FABA di Negara Maju Sudah Masif

Banyak perusahaan tambang batu bara pemilik PLTU melakukan kajian pemanfaatan FABA.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Truk membawa batubara di area pertambangan (ilustrasi).
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Truk membawa batubara di area pertambangan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menghapus Fly Ash Bottom Ash (FABA) dari daftar limbah berbahaya. Menanggapi kebijakan ini, Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) menilai kebijakan ini tepat karena memang pengelolaan FABA di negara maju sudah masif dilakukan.

Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menjelaskan sebenarnya FABA sendiri selama ini di negara maju sudah dikelola menjadi bahan baku konstruksi. Di tengah rencana pemerintah yang masif melakukan pembangunan FABA ini sebenarnya bisa dimanfaatkan.

Baca Juga

"Ini best practice banyak negara. Ini bisa dimanfaatkan secara umum. China, Jepang, Vietnam. Sebagai bangunan semen dan jalanan. Di jepang, bendungan fukushima itu bahan bakunya dari limbah batu bara. Jadi kenapa nggak kita belajar dari itu," ujar Hendra kepada Republika.co.id, Ahad (14/3).

Hendra menjelaskan banyak perusahaan tambang batu bara yang khususnya punya PLTU melakukan kajian pemanfaatan FABA ini. Dari hasil kajian juga diperoleh bahwa bahan baku dari FABA ini aman digunakan.

"Sudah dilakukan uji coba sebenarnya. Tapi untuk pemakaian masal memang belum karena masih harus ada clearence kan," ujar Hendra.

Hendra juga menjelaskan namun pemanfataan itu masih skala kecil. Padahal, dalam setahun produksi FABA dari PLTU yang ada mencapai 10-15 juta ton per tahun. Selama ini tidak termanfaatkan secara baik hanya ditimbun tanpa pengelolaan.

"Timbunan yang serampangan ini malah yang membuat resiko buruk kepada lingkungan. Kalau bisa dimanfaatkan ini malah mempunyai nilai tambah," ujar Hendra.

Disatu sisi, kata Hendra dengan diizinkannya perusahaan batu bara mengelola FABA ini maka sebenarnya bisa mengurangi ongkos pengangkutan dan pengelolaan. Sebab, tak bisa dipungkiri untuk mengelola FABA ini butuh biaya yang tidak sedikit.

"Rata rata 10-15 juta yang dihasilkan tiap tahunnya. Ini memberatkan secara operasional perusahaan. Padahal itu bisa dimanfaatkan. Kalau bisa dimanfaatkan bisa lebih ringan biaya operasionalnya. Bagi pemerintah yang subsidi PLN kan bisa kurang, biaya operasional pembangkit juga bisa berkurang kan," ujar Hendra.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement