Selasa 16 Mar 2021 00:15 WIB

Pandemi Picu 1,4 Juta Kehamilan yang tak Diinginkan

Banyak klinik kesehatan seksual terpaksa tutup atau mengurangi kapasitas layanan.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Andi Nur Aminah
Ilustrasi ibu hamil.
Foto: Photo by freestocks from Pexels
Ilustrasi ibu hamil.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekitar 1,4 juta kehamilan yang tidak diinginkan terjadi secara global selama pandemi Covid-19. Temuan itu terungkap dalam studi terbaru yang digagas oleh United Nations Population Fund (UNFPA).

Badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menyebut pandemi sebagai krisis kesehatan masyarakat global. Dampaknya belum pernah terjadi dalam 100 tahun terakhir. Bukan hanya soal infeksi virus corona, tapi juga beban pada populasi serta struktur kesehatan di seluruh dunia. Berbagai sumber daya dialihkan untuk penanganan virus, termasuk dari layanan kesehatan seksual.

Baca Juga

Banyak klinik kesehatan seksual terpaksa tutup atau mengurangi kapasitas layanan. Pasalnya, sebagian staf mereka diperbantukan menangani pasien Covid-19 atau harus mengisolasi diri akibat terinfeksi virus.

Itu sebabnya pandemi memicu terjadinya banyak kehamilan tak terencana. Kondisi ini diperparah karena para perempuan menahan diri atau tak bisa mengakses layanan kesehatan reproduksi yang memadai.

Direktur eksekutif UNFPA Natalia Kanem menyerukan pentingnya memastikan kelangsungan layanan kesehatan reproduksi. Semua itu butuh dukungan pemerintah, produsen, hingga penyedia layanan kesehatan.

"Kita harus memastikan bahwa perempuan dan anak perempuan memiliki akses tanpa gangguan ke kontrasepsi yang menyelamatkan jiwa dan ketersediaan obat-obatan kesehatan ibu," ujarnya.

Banyak perempuan berjuang untuk mendapatkan pilihan kontrasepsi jangka panjang yang paling efektif. Itu membutuhkan konsultasi tatap muka yang sebagian besar telah ditangguhkan atau dialihkan via telepon dan jarak jauh.

Data di Inggris menunjukkan penurunan 53 persen ketersediaan alat kontrasepsi darurat di layanan kesehatan reproduksi dan seksual dari April hingga September 2020. Itu jika dibandingkan dengan periode sama di 2019.

Fakultas Kesehatan Seksual dan Reproduksi (FSRH) di London, Inggris, mengungkap penurunan 37 persen kontak terkait kontrasepsi dengan layanan kesehatan seksual dan reproduksi selama periode sama. Jumlah ini menurun 249.927 kontak.

Presiden FSRH Asha Kasliwal menuturkan, pandemi Covid-19 telah mengubah cara perempuan mengakses kontrasepsi. Meski dokter, perawat, dan profesional perawatan kesehatan lainnya telah bekerja tanpa lelah, layanan kontrasepsi tetap terdampak.

Daftar tunggu untuk kontrasepsi jangka panjang yang paling efektif, semakin lama semakin bertumpuk. Menurut Kasliwal, layanan kontrasepsi membutuhkan investasi yang berkelanjutan di tengah pandemi.  

"Pemindahan staf dari klinik kesehatan reproduksi dan seksual yang sudah kekurangan staf telah mengakibatkan penutupan layanan. Dokter khawatir pasien yang rentan tidak lagi dapat mengakses perawatan yang mereka butuhkan," ucapnya, dikutip dari laman Independent.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement