Senin 22 Mar 2021 15:17 WIB

Gerindra: Pelanggaran Hukum Warnai Persidangan Kasus HRS

Romo Syafii heran hakim mengacu Perma bukan KUHAP yang mewajibkan HRS hadir.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Anggota Komisi III DPR, Romo HR Muhammad Syafi
Foto: Dok Gerindra
Anggota Komisi III DPR, Romo HR Muhammad Syafi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR, Romo HR Muhammad Syafi'i pesimistis dapat terciptanya penegakan hukum dalam penanganan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS). Dia menyoroti pelanggaran hukum dalam penanganan kasus terkait kerumunan massa yang dianggap melanggar protokol kesehatan (prokes) Covid-19.

Romo Syafi'i, panggilan akrabnya, menjabarkan, sejumlah pelanggaran hukum dalam penanganan kasus HRS. Pertama, hakim menganggap Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 lebih tinggi dari undang-undang (UU). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan, terdakwa wajib dihadirkan dalam persidangan.

Sedangkan Perma mengatakan boleh tak menghadirkan. "Hakim malah memilih Perma yang derajat kekuatannya jauh di bawah UU (KUHAP)," kata anggota Fraksi Gerindra DPR itu dalam pernyataannya dikutip Republika pada Senin (22/3).

Pelanggaran kedua, Syafi'i menyebut, majelis hakim tetap menggelar sidang tanpa kehadiran terdakwa di pengadilan. Padahal, sambung dia, terdakwa mendesak dihadirkan di sidang pengadilan. Pelanggaran ketiga, hakim dan jaksa dihadirkan di pengadilan tapi terdakwa dan tim pembela hukum dihalangi hadir di pengadilan.

"Ada kata-kata biadab dari oknum jaksa penuntut umum untuk memaksa HRS mengikuti sidang online. Jaksa meminta terdakwa dihadirkan apapun caranya. Bukan cara hukum berarti karena ada kata apapun caranya. Dan memang HRS akhirnya didorong, dipaksa, dan dihinakan," ujar Syafi'i.

Oleh karena itu, Syafi'i menyimpulkan, penanganan kasus HRS jauh dari prinsip penegakan hukum yang adil. "Saya menilai kasus HRS adalah kasus politik bukan kasus hukum. Penanganan kasus HRS ini bukan penegakan hukum tapi pelanggaran hukum," tegas Syafi'i.

Dia menekankan supaya preseden buruk selama penanganan kasus HRS harus dihentikan. "Karena rakyat Indonesia tidak bodoh dan tidak buta hukum. Meski ada oknum penegak hukum yang sudah kehilangan hati nurani, tapi masih banyak dari mereka yang memiliki hati nurani sama dengan nurani rakyat yang mendambakan penegakan hukum yang benar, jujur dan adil," ucap Syafi'i.

Sidang perkara kerumunan dengan terdakwa HRS dilanjutkan secara daring pada Jumat (19/3). Dalam kesempatan itu, HRS merasa terpaksa mengikuti sidang virtual tersebut. HRS terjerat tiga kasus sekaligus.

Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian pada bulan Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.

Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement