REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti mengataka,n terdapat implikasi hukum bila wacana masa jabatan presiden tiga periode diterapkan di Indonesia. "Ada implikasi tapi negatif, karena masa jabatan yang terlalu lama berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," katanya dalam diskusi bertema 'Merefleksikan Kembali, Demokrasi Kita di Persimpangan Jalan?' secara daring di Jakarta, Rabu (24/3).
Selain itu, dampak dari masa jabatan presiden tiga periode jika diterapkan ialah memperlambat generasi kepemimpinan antargenerasi berikutnya. Bivitri juga menyebut, penambahan masa jabatan kepala negara menjadi tiga periode tidak hanya berdampak di atas, juga berimbas ke tatanan paling bawah.
Dia menilai, dalam menjalankan tampuk pemerintahan, presiden akan berjalan dengan orang-orang sekelilingnya baik dari sektor formal maupun nonformal. "Jadi ada oligarki yang menginginkan supaya terus menerus kekuasaannya dipelihara," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia tersebut.
Bivitri pun mengajak masyarakat untuk kritis terhadap masalah itu. Apalagi, publik tidak boleh hanya melihat dari sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi) saja, melainkan orang-orang yang mengikutinya. Sebelum isu tersebut bergulir, lanjut dia, tidak ada pihak yang membicarakan masa jabatan presiden tiga periode.
Namun, secara tiba-tiba para elite politik tertentu membicarakannya. Selama ini, masyarakat lebih fokus kepada isu-isu konkret, misalnya penanganan korupsi, pembungkaman demokrasi, pandemi Covid-19, ekonomi yang menurun dan lain sebagainya.
Tetapi, ketika isu tersebut dimunculkan oleh elite politik atau dari kalangan pendukung Jokowi sendiri menyebabkan adanya wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode."Jadi harus kita perhatikan betul siapa yang membawa-bawa ini sebenarnya," kata Bivitri.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Economist Intelligence Unit, Indonesia memperoleh skor indeks demokrasi sebesar 6,30 persen atau peringkat 64 dari 167 negara.