REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Butuh waktu 5 tahun dan 3 bulan (63 bulan) bagi KPK untuk melangkah dari tahap pengumuman penyidikan ke penahanan atas tersangka mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino. Penangkapan Richard Joost Lino ini terkait kasus dugaan korupsi terkait proyek pengadaan 3 unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II (Persero) tahun 2010.
Pada 15 Desember 2015, KPK mengumumkan penetapan RJ Lino sebagai tersangka. Ini karena dia diduga memerintahkan pengadaan 3 QCC dengan menunjuk langsung HuaDong Heavy Machinery (HDHM) Co. Ltd dari China.
Padahal, berdasarkan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM, ditemukan bahwa produk HDHM tidak lulus evaluasi teknis. Hal ini karena, barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China.
Namun baru pada 26 Maret 2021, KPK melakukan penahanan terhadap RJ Lino. Letak persoalan bukan karena tersangka melarikan diri seperti dalam kasus-kasus sebelumnya melainkan karena KPK terkendala dengan perhitungan kerugian negara seperti yang diminta oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk menghitung nilai kerugian negara, BPK membutuhkan bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC. Namun, bukti pengeluaran itu tidak kunjung diperoleh.
Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, pimpinan KPK periode sebelumnya yaitu Agus Rahardjo dan Laode M Syarif bahkan pada 2018 bahkan sudah datang ke China dan dijanjikan untuk bertemu dengan Jaksa Agung atau menteri terkait. Namun pada saat-saat terakhir, pertemuan tersebut dibatalkan.
Pun tim penyidik yang datang ke China dalam kesempatan yang berbeda dengan pimpinan untuk mencari data QCC tersebut harus pulang dengan tangan hampa. Alhasil BPK tidak bisa melakukan penghitungan kerugian negara karena ketiadaan dokumen atau data pembanding.