REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Terorisme Nasir Abbas menilai pengawasan atas peredaran bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan peledak rakitan tergolong sulit. Sebab bahan kimia itu lazim dijual di toko-toko kimia.
Nasir menduga bahan peledak bom Gereja Makassar masuk golongan low explosive atau daya ledak rendah hasil racikan sendiri. Ia menyimpulkannya setelah melihat warna asap saat kejadian peledakan bom yang berwarna putih.
"Untuk membuat low explosive yang berdaya ledak rendah atau menghasilkan efek bakar yang besar, bisa dapatkan bahannya dengan mudah di pasar atau toko kimia juga toko pupuk," kata Nasir pada Republika.co.id, Senin (29/3).
Oleh karena itu, Nasir memandang aparat kepolisian akan terkendala dalam mengawasi peredaran bahan kimia yang digunakan sebagai peledak. Aparat kepolisian harus cermat memilah mana yang membelinya untuk kegunaan umum dan mana yang dipakai membuat peledak. "Bahan-bahan yang dipakai membuat bahan peledak juga ada yang biasa digunakan masyarakat umum, jadi pengawasannya pasti sulit," ujar Nasir.
Di sisi lain, Nasir sepakat dengan kepolisian bahwa aksi teroris ini sejalan dengan gaya Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Ia meyakini kedua pelaku punya hubungan keluarga karena mereka sangat ketat soal muhrim.
"Maka bisa saja mereka sepasang suami istri atau kakak adik. Namun dari pengalaman sebelumnya ya hubungan suami istri, dan saya yakin status suami istri mereka secara nikah siri, kecuali polisi temukan dokumen mereka di KUA," ucap Nasir.
Polri mengungkapkan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, merupakan anggota kelompok JAD pada Ahad (29/3). Pelaku pengeboman dua orang terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dari data yang diperoleh, polisi baru saja mengonfirmasi keduanya adalah pasangan suami istri yang baru menikah enam bulan.
Dalam aksi teror itu, kedua pelaku tewas. Adapun 20 orang terluka akibat peristiwa tersebut. Mereka di antaranya merupakan masyarakat dan petugas keamanan gereja.