Junta Myanmar pada hari Rabu (31/03) mengumumkan untuk menerapkan gencatan senjata sepihak selama satu bulan dengan syarat. Tapi militer Myanmar membuat pengecualian bagi tindakan yang menggangu keamanan dan operasi administrasi pemerintah, ini maksudnya mengarah pada aksi massa yang dilakukan setiap hari secara nasional untuk menentang kudeta militer sejak Februari lalu. Pengumuman ini muncul setelah junta Myanmar sibuk menghadapi kelompok gerilya etnis minoritas di berbagai daerah.
Lebih dari belasan kelompok etnis minoritas selama beberapa dekade telah berusaha menuntut otnonomi daerah lebih besar dari pemerintah pusat, terkadang melalui pasukan bersenjatanya. Bahkan sebelum kudeta, hubungan antara kedua pihak telah memanas dan upaya gencatan senjata dianggap rapuh.
Kelompok etnis minoritas belum memberikan reaksi langsung terhadap pengumuman gencatan senjata ini. Namun sebelumnya, beberapa kelompok besar, termasuk etnis Kachin di utara, etnis Karen di timur, dan etnis Rakhine di barat, secara terbuka mengecam kudeta yang dilakukan militer Myanmar dan mengatakan mereka akan membela pengunjuk rasa di wilayah yang mereka kuasai.
Cina enggan beri sanksi militer Myanmar
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) mengatakan Cina harus menggunakan pengaruhnya untuk meminta pertanggungjawaban kepemimpinan militer Myanmar atas kerusuhan yang sejauh ini telah merenggut lebih dari 500 nyawa.
Pada hari Rabu (31/03), AS mengatakan akan terus meminta Cina untuk turut bertanggung jawab atas kudeta tersebut.
"Apa yang telah dilakukan junta di Burma bukanlah untuk kepentingan Amerika Serikat. Ini bukan untuk kepentingan mitra dan sekutu kami, dan itu bukan untuk kepentingan Beijing," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price.
Tidak seperti negara-negara Barat yang mengutuk keras aksi militer tersebut, Cina menanggapi kudeta dengan hati-hati dan menyebut pentingnya stabilitas dan "transisi demokrasi" pemerintahan militer. Cina pun menolak menjatuhkan sanksi.