REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dr. Dino Patti Djalal menganggap prinsip untuk tidak campur tangan (nonintervensi), seperti yang dianut perhimpunan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN), bukan berarti diam saat pelanggaran HAM terjadi di Myanmar. Demikian disampaikan Dino Patti Djalal dalam diskusi virtual "Southeast Asian People-to-People Regaion Hall on the Political Crisis in Myanmar", Kamis.
"Ini bukan tentang diam ketika para pemimpin terpilih sedang dipenjara," ujarnya.
Ia mengatakan tidak campur tangan bukanlah bersikap diam ketika sebuah "kamar" di rumah Asia Tenggara terbakar. "Mengenai masalah krisis Myanmar, kita telah menyaksikan bagaimana 'tidak-campur tangan' digunakan sebagai alasan untuk tidak melakukan apa-apa, tidak mengambil sikap, untuk tidak mengatakan apa-apa yang substansial," kata dia.
Apa yang terjadi di Myanmar dan bagaimana masyarakat menanggapinya, menurut Dino, mengungkapkan siapa mereka sebagai orang Asia Tenggara dan apa ASEAN itu. Menurutnya, apa yang terjadi di Myanmar bukan hanya urusan pemerintah. "Kita, orang-orang, punya suara. Dan kita, orang-orang itu, penting. Senjata terbesar kita adalah opini publik. Opini publik adalah hal yang sangat kuat," ujar Dino.
Opini publik diyakini dapat memulai proses, memberi energi pada gerakan, dapat mengubah persepsi, membentuk kebijakan, sehingga membuat perbedaan. Beberapa bulan yang lalu, lanjut dia, Myanmar adalah negara yang relatif normal dan menikmati stabilitas dan perdamaian serta pemilihan umum. Sekarang, Myanmar adalah tragedi Asia Tenggara.
"Demokrasi hilang. Myanmar adalah tempat di mana kekerasan, ketidakadilan, penindasan, teror berkuasa, bertentangan dengan segala sesuatu yang diperjuangkan," kata dia.
Ia mengatakan junta militer Myanmar memimpin negara pada ketidakamanan, ketidakstabilan, serta kekacauan.