REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah tengah dinamika pemberitaan soal Cina atau Tiongkok, Mantan Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok periode 2014 - 2017 Sugeng Rahardjo meluncurkan buku Unboxing Tiongkok - belajar dari Tiongkok.
Buku ini disusun berdasarkan pengalaman dan analisa Sugeng setelah malang melintang penugasan di dunia internasional selama kurang lebih 30 tahun. Dari negara aidaya Amerika Serikat hingga ke Cina.
"Dalam 30 tahun, Tiongkok mampu menyalip kemajuan bangsa barat yang dicapai selama 300 tahun hal ini karenanya selalu menjadi topik yang menarik untuk dipelajari, terutama setelah Deng Xiaoping menerapkan kebijakan reformasi dan keterbukaan pada 1978," ujar Sugeng dalam sesi diskusi peluncuran bukunya di Jakarta, akhir pekan ini.
Diskusi itu juga menghadirkan sejumlah pembicara lain seperti Iwan Santosa (jurnalis Kompas), Sariat Arifia (pegiat kaderisasi kepemimpinan Al-Azhar Youth Leader Institute/AYLI, pengusaha dan juga penulis), serta Rahmad Nasution (jurnalis LKBN Antara).
Sugeng mengatakan, keterbukaan Tiongkok tersebut mengilhami judul bukunya. Menurut dia, informasi yang terkandung dalam buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas bahwa membangun perekonomian negara memerlukan komitmen, disiplin, kerja keras, dan kesinambungan.
Ia menilai, di antara keberhasilan Tiongkok yang perlu mendapat perhatian banyak bangsa, termasuk Indonesia, adalah pencapaian berkesinambungan pemerintah negara itu dalam pengentasan kemiskinan yang menjadi tantangan besar bangsa besar itu selama ini. Sugeng melihat keunggulan Tiongkok karena mereka memiliki dasar yang kuat. Tiongkok negara sosialis, tetapi memadukannya dengan budaya lokal.
Mereka juga memiliki sikap patriotisme yang kuat, dan itu jarang ada di negara-negara lain pada era saat ini. "Mereka bersatu. Lihat saja ketika banyak perusahaan-perusahaan barat mengkritik kebijakan mereka. Mereka membalas, memboikot pembelian produk Barat," kata Sugeng.
Ia mencontohkan, penduduk Tiongkok memboikot produk asal Amerika, Nike, berbulan-bulan. Hasilnya, kata dia, produsen sepatu asal AS itu merugi hingga 4,6 miliar dollar AS. "Tiongkok punya pasar besar, bisa menenggelamkan," kata dia.
Ia memprediksi Pemerintah Tiongkok tampaknya akan memanfaatkan pasar dalam negeri yang berjumlah sekitar 1,4 miliar orang secara maksimal untuk dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara positif. Keunggulan lain, kata Sugeng, Tiongkok memiliki sistem industri lengkap, sehingga tidak perlu kekuatan eksternal.
Ia melanjutkan, di tengah dinamika hubungan antarbangsa di tingkat regional dan global yang penuh tantangan, hubungan Indonesia dan Tiongkok justru terus menunjukkan tren peningkatan yang baik.
"Pemerintah kedua negara bahkan telah berhasil meningkatkan kemitraan strategisnya yang disepakati pada 2005 menjadi kemitraan komprehensif strategis pada 3 Oktober 2013," kata mantan Dubes RI untuk Tiongkok periode 2014 -2017 ini.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Asep Saefuddin mengatakan, buku ini mencerminkan kecintaan Sugeng Rahardjo yang sangat dalam kepada bangsanya.
"Semua disusun berdasarkan pengamatan dan analisis yang mendalam. Kalau Tiongkok bisa maju seperti ini, mengapa Indonesia tidak bisa?" katanya.
Menurut dia, banyak yang bisa dipelajari dari buku itu. "Dengan tetap menghormati budaya kita. Saat kita menghormati budaya lokal, kita akan mnghormati budaya orang lain. Dan menyadari ada persamaan dalam budaya itu," katanya.
Ia menambahkan, perlu belajar tentang Tiongkok. "Jangan takut ada komunislah. Memang benar ada komunis, tapi kita tidak mungkin menjadi komunis," tutur Asep.