REPUBLIKA.CO.ID, BRUSEL -- Uni Eropa (UE) pada Senin (19/4) memberlakukan sanksi terhadap anggota junta militer Myanmar yang mengambil kendali negara itu dalam kudeta 1 Februari. UE memberikan sanksi ke menteri informasi baru dan dua konglomerat yang dikendalikan oleh militer. Hal ini merupakan tanggapan tegas UE terhadap penggulingan pemeritahan terpilih Aung San Suu Kyi.
UE mengatakan sembilan anggota Dewan Administrasi Negara junta, yang dibentuk sehari setelah kudeta, telah dikenakan sanksi berupa larangan perjalanan dan pembekuan aset. Menteri Informasi U Chit Naing juga mendapatkan sanksi yang sama.
"Dewan Administrasi Negara Myanmar bertanggung jawab untuk merusak demokrasi dan supremasi hukum. Pasukan dan otoritas militer yang beroperasi di bawah kendali SAC telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius sejak 1 Februari 2021, menewaskan pengunjuk rasa sipil dan tidak bersenjata," kata pernyataan Uni Eropa.
UE juga menargetkan dua perusahaan yang menghasilkan pendapatan bagi Angkatan Bersenjata Myanmar. Hal ini sebuah langkah kuat menyusul sanksi terhadap 11 pejabat militer senior, termasuk panglima tertinggi pada bulan lalu. UE telah mengembargo pengiriman senjata ke Myanmar. Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC) dijatuhkan sanksi berupa larangan melakukan bisnis dengan investor maupun perbankan UE.
"MEHL dan anak perusahaannya menghasilkan pendapatan (untuk militer), oleh karena itu berkontribusi pada kemampuannya untuk melakukan aktivitas yang merusak demokrasi dan supremasi hukum dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di Myanmar," kata pernyataan Uni Eropa.
MEHL dan MEC memiliki sejumlah perusahaan di bidang pertambangan, manufaktur, makanan dan minuman, hotel, telekomunikasi dan perbankan. Mereka termasuk pembayar pajak terbesar di Myanmar. Mereka juga memiliki kemitraan dengan perusahaan asing, karena Myanmar terbuka selama liberalisasi demokrasi.
Kudeta telah menjerumuskan Myanmar ke dalam krisis setelah 10 tahun menyusun langkah tentatif menuju demokrasi. Aksi protes besar-besaran dan mogok kerja yang berlangsung di seluruh wilayah Myanmar telah menghentikan aktivitas ekonomi.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan, pasukan keamanan telah membunuh 715 pengunjuk rasa sejak penggulingan pemerintah Suu Kyi. Pasukan keamanan menggunakan kekuatan maksimal untuk menghadapi para demonstran.