REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlindungan hutan terus diperketat untuk menjaga kesinambungan produksinya. Hal itu membuat pemerintah mengeluarkan regulasi baru yaitu Peraturan Pemerintah No.23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, khususnya terkait dengan pengelolaan perhutanan sosial.
Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal PSKL Apik Karyana, untuk menyukseskan program pengelolaan kehutanan salah satunya dengan adanya pendampingan. Ia mengatakan, pengalaman membuktikan lokasi-lokasi perhutanan yang terdapat pendamping membuat petani hutan merasa diberikan fasilitas.
Fasilitas itu seperti membina petani hutan untuk lebih memahami regulasi kehutanan yang baru hingga membantu mereka dalam memasarkan hasil tani hutan. Sehingga dapat memberikan benefit yang saling menguntungkan. Sayangnya, pendampingan kehutanan juga masih memiliki kendala dalam hal biaya.
“Mereka memfasilitasi dari membentuk kelembagaan, pengembangan, usaha pasar, dan sampai mengelola keuangan. Namun kami kesulitan dengan pendamping ini, ada pendamping yang dibiayai APBN dan ada juga yang non-ASN berasal dari swasta. APBN hanya bisa membiayai 1.250 sampai riga ribu pendamping, padahal satu kelompok (petani hutan) hampir 7000 pendamping ini kita terbantu dengan pendamping mandiri,” kata dia dalam Earth Day Forum 2021: Regulasi Baru Pengelolaan Hutan Untuk Rakyat yang diselenggarakan Katadata pada Rabu (21/4).
Presiden Direktur Daemeter Aisyah Sileuw menuturkan, Peraturan Pemerintah bisa dilaksanakan dengan adanya proses monitoring yang ketat. Intinya peraturan harus dikawal dan dapat efektif.
“Harus jelas ada proses monitoring, pemberian sanksi itu harus efektif. KLHK tidak bisa bekerja sendirian harus dibantu dengan stakeholder masing-masing. Pokoknya perlu ada strategi yang membuat orang bekerja untuk memenuhi peraturan tersebut,” kata dia menegaskan.
Ia menambahkan, strategi komunikasi perlu dikembangkan termasuk di daerah dan para pelaku kehutanan. Dari situ, Indonesia akan terbantu untuk memenuhi komitmen dan kewajiban Paris Agreement ataupun nasional.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Hariadi Kartodiharjo berpendapat, bahwa memang pendamping untuk petani hutan menjadi tantangan. Padahal proses pendampingan itu berlatar ekonomi dan income sehingga bisa memahami secara persis apa yang menjadi potensi di lokasi hutan tersebut.
Meski begitu, tidak hanya soal pendampingan ekonomi dan income tapi juga perlu memiliki strategi komunikasi. Bagaimanapun dalam pengelolaan hutan kerap terjadi konflik pada beberapa pihak.
“Hutan non kayu itu merupakan proses sangat penting melihat bagaimana mereka memanfaatkannya, lalu mengetahui aspek-aspek pemasaran untuk ke konsumen. Situasi sekarang bukan hanya pendampingan ekonomi dan income tp jg terkait penyelesaian konflik. Saya melihat ada perbedaan dengan usaha besar. Jadi membuat strategi komunikasi sangat penting dilibatkan untuk dasar utama,” kata dia dalam acara yang sama.
Kepala Divisi Pengelolaan Perhutanan Sosial, M Yusuf Noorhajiyanto menjelaskan, petani hutan harus didukung dengan memberikan mereka arahan sesuai Peraturan Pemerintah. Menurutnya, satu pemahaman terhadap peraturan bisa menjadi solusi untuk menghasilkan keuntungan bagi para petani hutan.
“Kami dari pihak BUMN tentunya ada benchmark yang nyata tentang bagaimana support petani-petani itu untuk menjembatani batas-batas. Pada saat disolusikan, kira-kira benefit apa sih, di situ ada benefit ada manfaat kita distribusikan, maka yang lain pasti akan support,” ujar dia.