Jumat 30 Apr 2021 20:46 WIB

Jepang tak Mau Olimpiade Bebani Sistem Medis

Jepang sedang berjuang menghadapi lonjakan kasus COVID-19.

 Maskot Olimpiade Tokyo 2020 Miraitowa dan para biksu Buddha yang mengenakan masker pelindung wajah, di tengah pandemi penyakit virus korona (COVID-19), menghadiri upacara untuk mengungkap tampilan Simbol Olimpiade di Gn. Takao di Hachioji, Jepang, 14 April 14, 2021,
Foto: EPA-EFE/KIM KYUNG-HOON
Maskot Olimpiade Tokyo 2020 Miraitowa dan para biksu Buddha yang mengenakan masker pelindung wajah, di tengah pandemi penyakit virus korona (COVID-19), menghadiri upacara untuk mengungkap tampilan Simbol Olimpiade di Gn. Takao di Hachioji, Jepang, 14 April 14, 2021,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara pemerintah Jepang mengatakan Olimpiade tidak boleh menjadi beban bagi sistem medis di negara itu. Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato, seperti dikutip Reuters, Jumat (30/4), mengatakan Olimpiade akan diadakan dengan cara yang membuat semua orang merasa aman.

Pernyataan tersebut menanggapi kekhawatiran serikat perawat bahwa acara olahraga terbesar di dunia itu akan menghabiskan sumber daya medis yang dibutuhkan masyarakat. Penyelenggara Tokyo 2020 pekan ini mengeluarkan edisi kedua dari "buku pedoman" yang menjabarkan standar pencegahan infeksi virus corona untuk Olimpiade Musim Panas yang akan dimulai dalam waktu kurang dari tiga bulan itu. Aturan tersebut mengharuskan atlet dites COVID-19 setiap hari dan membatasi penggunaan transportasi umum mereka.

Baca Juga

Venue selancar di Olimpiade Tokyo menolak mendirikan fasilitas tes dan perawatan COVID-19 untuk para atlet. Alasannya, kurangnya fasilitas medis.

Kota Ichinomiya, sekitar 96 km arah timur Tokyo, telah diminta mendirikan fasilitas pengujian oleh tim nasional Brasil. Peselancar Brasil yang diharapkan menjadi salah satu peraih medali pada debut olahraga tersebut di Olimpiade ingin berada di dekat pantai daripada di Desa Olimpiade yang berjarak sekitar dua jam.

Namun, kepada Reuters, perwakilan dari kantor perencanaan Olimpiade kota tersebut membantah kabar itu. Jepang sedang berjuang menghadapi lonjakan kasus COVID-19. Sementara itu, penyelenggaraan vaksinasi yang sejauh ini tergantung kepada impor vaksin Pfizer, tertinggal dari negara-negara maju lainnya.

Menteri Kesehatan Norihisa Tamura mengonfirmasi bahwa dosis pertama vaksin Moderna yang diharapkan disetujui Mei, telah tiba di Jepang. Jepang telah menginokulasi hanya 1,8 persen dari penduduknya, terlalu sedikit untuk menumpulkan gelombang keempat kasus COVID-19 yang didorong oleh jenis virus yang lebih menular.

Dalam upaya memperlambat penyebaran virus, Tokyo dan Osaka tetap berada dalam keadaan darurat, yang akan berlangsung hingga 11 Mei."Jika kita tidak melanjutkan vaksinasi massal, kita akan berakhir dengan putaran deklarasi darurat yang tak ada habisnya selamanya," kata kepala eksekutif perusahaan e-commerce Rakuten, Hiroshi Mikitani.

Tokyo melaporkan 1.027 kasus baru pada Kamis (29/4), tertinggi sejak 28 Januari, dan 698 kasus pada hari Jumat.

sumber : antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement