REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan ekspresi gen virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi COVID-19 mungkin bisa menjadi salah satu faktor dari gejala jangka panjang penyakit ini. Hal tersebut diketahui dalam sebuah studi terbaru yang dilakukan para ilmuwan di Texas Tech University Health Sciences Center.
SARS-CoV-2 tercakup dalam protein lonjakan yang mengikat reseptor pada sel-sel di tubuh selama infeksi virus terjadi. Ini kemudian memulai proses yang memungkinkan virus melepaskan materi genetik ke dalam sel yang sehat.
“Kami menemukan bahwa paparan protein lonjakan SARS-CoV-2 saja sudah cukup mengubah ekspresi gen dasar dalam sel saluran napas,” ujar Nicholas Evans, mahasiswa studi magister di Texas Tech University Health Sciences Center, dilansir Jerusalem Post, Jumat (30/4).
Evans mengatakan hal itu menunjukkan bahwa gejala yang terlihat pada pasien pada awalnya mungkin disebabkan oleh protein lonjakan yang berinteraksi dengan sel secara langsung. Para peneliti menemukan bahwa sel-sel saluran napas manusia yang terpapar protein lonjakan konsentrasi rendah dan tinggi menunjukkan perbedaan dalam ekspresi gen, bahkan setelah sel-sel itu pulih.
Penemuan dalam studi ini mungkin menunjukkan bahwa orang-orang yang terinfeksi virus corona jenis baru, namun tidak mengalami gejala tetap dapat memiliki perubahan ekspresi genetik yang tahan lama.
Tim dalam studi ini berencana menggunakan pendekatan baru untuk mempelajari berapa lama perubahan genetik berlangsung, Termasuk juga mengenai potensi konsekuensi jangka panjang dari perubahan tersebut.
Penelitian baru ini muncul setelah sebuah penelitian diterbitkan dalam jurnal tinjauan sejawat yang dirilis di Nature menemukan bahwa orang yang selamat dari COVID-19 memiliki risiko kematian hampir 60 persen lebih tinggi hingga enam bulan setelah infeksi, dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi.
Bahkan pasien yang tidak mengalami gejala saat terinfeksi dapat memiliki implikasi kesehatan berbulan-bulan kemudian. Penyakit implikasi pasca COVID-19 ini dapat mencakup kondisi pernapasan, penyakit pada sistem saraf, diagnosis kesehatan mental, gangguan metabolisme, kondisi kardiovaskular dan gastrointestinal.
Ziyad Al-Aly, direktur Pusat Epidemiologi Klinis di Universitas Washington di St. Louis dan kepala Layanan Penelitian dan Pendidikan di Sistem Perawatan Kesehatan Veterans Affairs St. Louis mengatakan bahkan orang dengan gejala COVID-19 ringan dan tampak baik-baik saja seperti hanya mengalami demam dan batuk, berbulan-bulan kemudian bisa terserang stroke atau pembekuan darah.
“Tingkat risiko ini mungkin kecil, namun tentu tidak sepele,” kata Al-Aly.