REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
"Istriku, jika engkau membaca surat ini, berarti aku sudah tewas. Jaga anak-anak."
Itulah tulisan di secarik kertas yang ditemukan di saku celana jenazah salah satu prajurit kru kapal selam yang tenggelam di dasar lautan.
Peristiwa nyata itu menjadi mozaik yang membuat suasana menjadi haru biru. Itulah kepingan-kepingan dari rangkaian peristiwa tenggelamnya kapal selam. Hati pun pasti berkeping-keping membaca pesan tersebut.
Berkeping-keping pula ketika mengetahui kapal selam KRI (Kapal Republik Indonesia) Nanggala nomor lambung 402 (Empat Nol Dua) tenggelam pada pekan ketiga April 2021 lalu. Peristiwa karamnya KRI Nanggala-402, mengingatkan dunia pada tenggelamnya kapal selam Kursk milik Angkatan Laut Rusia. Kapal selam itu karam pada Agustus 2000 di Laut Barents. Tidak jauh dari utara Norwegia dan Semenanjung Kola.
Sebanyak 118 awak kapal Rusia gugur sebagai pahlawan bangsanya. Membutuhkan waktu sekitar 14 bulan atau satu tahun lebih untuk mengangkat kapal itu ke permukaan. Seluruh awaknya yang gugur berhasil dievakuasi.
Saat kapal selam berhasil dibuka, apa yang terjadi? Ternyata seluruh jenazah terkumpul di bagian buritan. Ruangan inilah yang diperkirakan bisa dihuni untuk mengirup oksigen terakhir. Ya, terakhir. Sebelum seluruh awak kehabisan napas.
Baca juga : Firli Bersyukur Pegawai KPK Bisa Diangkat Jadi ASN
Sambil menunggu maut, dan meregang nyawa. Sebelum Malaikat Izrail yang bertugas mencabut nyawa tiba, mereka masih sempat menuliskan pesan terakhir kepada keluarga tercintanya. Kemudian dimasukkan ke dalam saku celana, botol-botol air mineral, serta tas ransel prajurit kapal selam Rusia.
Mereka betul-betul tabah sampai akhir. Mengetahui detik-detik jelang meregang nyawa di dasar lautan. Betapa tabah sampai akhir pula para keluarganya menerima jenazah orang-orang yang dicintainya, 14 bulan kemudian. Tangis histeris pecah….
Peristiwa tenggelamnya kapal selam itu terdapat dalam buku Kapal Selam Indonesia karya Indroyono Susilo dan Budiman. Penerbit Buku Ilmiah Populer, 2008. Buku ini penulis baca dari Perpustakaan Dinas Sejarah TNI Angkatan Laut (Disjarahal).
Melawan Belanda
Kapal selam Rusia, dulu disebut Uni Soviet, tentu saja tak bisa dipisahkan dengan sejarah kapal selam Indonesia. Kali pertama, TNI belajar khusus kapal selam dari negeri Beruang Merah itu. Deputi II Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Brigadir Jenderal (KKO/Marinir) Ali Sadikin secara rahasia terbang ke Uni Soviet. Ia melihat para prajurit TNI AL yang sedang menjalani pendidikan kapal selam di Vladivostok (Wladiwostok).
"Saudara-saudara datang ke sini dipersiapkan untuk perang melawan Belanda. Jadi siapkan betul-betul. Setelah Kembali dari sini, siap perang!" kata Kolonel Laut Pelaut (Purn) R Soebagijo, lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), kini Akademi Angkatan Laut (AAL) 1959. Ia menirukan pesan moral dari Brigjen Ali Sadikin.
Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet, Adam Malik juga datang khusus dari Moskow ke Wladiwostok. Ia datang menyampaikan pesan dari Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
"Jangan sia-siakan kesempatan pendidikan kalian di sini. Selesaikan pendidikan sebaik-baiknya. Kalian menjadi putra-putra Indonesia terpilih. Sekembali kalian ke Indonesia, kalian mendapatkan kehormatan untuk menghancurkan armada musuh dan mendarat pertama di bumi Irian Barat setelah kita rebut kembali,” ujar Adam Malik, menyampaikan pesan Sukarno.
"Pesan-pesan motivasi itu membakar semangat tempur kami," kata Subagijo. Saat peristiwa itu, ia sebagai perwira torpedo berpangkat Letnan Satu. Kemudian menjadi awak kapal selam RI Tjandrasa (Candrasa). Sebagai komandan RI Tjandrasa adalah Mayor Laut (Pelaut) M Mardiono, lulusan IAL 1954. Terakhir berpangkat Laksamana Muda TNI (Purn).
Dalam kondisi ekonomi yang terbatas, Indonesia mampu meyakinkan Uni Soviet untuk pengadaan kapal selam jenis Whiskey-Class. Saat itu tergolong memiliki teknologi canggih. Kapal-kapal ini memang diperuntukkan untuk menghancurkan armada perang Belanda di Irian Barat.
Uni Soviet juga membangun Stasiun Bantu Kapal Selam untuk mengisi baterai-baterai kapal selam. Seluruh bantuan itu mencapai satu miliar dolar AS kala itu (kurs kini Rp 14,4 triliun). Dengan kehadiran 12 kapal selam, dua kapal induk kapal selam, dua kapal penangkap torpedo, dan satu kapal penyelamat dalam komando jenis kapal selam itu, menjadikan Angkatan Laut Indonesia berwibawa di dunia.
Kapal perang dalam komando jenis kapal selam yang dimiliki Indonesia saat itu, terdiri dari Kapal Selam RI Tjakra (TJK) 401, RI Nanggala (NGL) 402, RI Nagabanda (NBD) 403, RI Trisula (TSL) 404, RI Tjandrasa (TNS) 405, RI Nagarangsang (NRS) 406, dan RI Hendradjala (HAD) 407.
Ada juga RI Alugoro (AGR) 408, RI Widjajadanu (WDU) 409, RI Pasopati (PST) 410, RI Tjudamani (TDN) 411, RI Bramastra (BMA) 412. Lalu ada kapal induk untuk kapal selam, yakni RI Ratulangi (RLI) 4101, RI Thamrin (THA) 4102, RI Buaja (BJA) 4103, RI Binjawak (BNK) 4104, RI Rantekambola (RKB) 4105.
Peti jenazah
Empat kapal selam akhirnya berhasil tiba di Pasir Putih, Pasuruan, Jawa Timur. Tak ada cerita istirahat. Mereka lanjut berlatih selama dua pekan. Usai latihan, langsung menuju Halmahera, Kepulauan Maluku. Perjalanan laut menempuh waktu tiga hari.
Ketika posisi kapal selam mendekati Pulau Mapia, berbatasan dengan negara Republik Palau, periskop menangkap lampu yang kurang terang. Dikira kapal nelayan, ternyata kapal perang Belanda yang memiliki kecepatan tinggi.
Baca juga : Pemerintah Berencana Naikkan Tarif PPN pada 2022
Mendapatkan serangan tembakan dari pesawat Belanda, kapal selam pun terus menyelam ke laut bebas hingga kedalaman sekitar 150 meter agar tidak terlihat musuh. Batas maksimal kapal selam jenis Whiskey-Class adalah 200 meter.
Misi RI Tjandrasa adalah pengintaian. Sukses mengintai, kapal selam kembali ke Halmahera. Membawa misi mendaratkan 15 orang pasukan komando dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke daratan Irian Barat. Begitu juga dengan dua kapal lainnya, masing-masing membawa 15 pasukan komando yang akan didaratkan ke daerah musuh. Total ada 45 pasukan komando yang siap perang terbuka dengan tentara Belanda.
Selama enam hari perjalanan RI Tjandrasa sampai di Teluk Tanah Merah. Sebelah utara daerah pendaratan atau sekitar 30 mil sebelah barat Hollandia, kini disebut Jayapura. Di situlah markas Angkatan Laut Belanda. Pada 20 Agustus 1962, malam itu suasana gelap gulita. Rencananya sekitar pukul 22.00 waktu setempat, dari jarak 1,5 mil pasukan komando akan didaratkan.
Namun, setelah perahu karet dikeluarkan, tiba-tiba lampu menyala terang. Lampu dari pesawat Neptune itu menyorot buritan kapal selam. Perahu karet yang sudah dikeluarkan, terpaksa ditinggal. Tidak sempat dimasukkan kembali ke dalam kapal selam. RI Tjandrasa pun kembali menyelam pada kedalaman 25-30 meter.
Saat awak kapal melihat periskop (teropong kapal selam), tidak terlihat apa pun. Gelap. Ternyata perahu karet tersangkut di tiang periskop bagaian luar kapal selam. Setelah kondisi aman, perahu karet dimasukkan kembali ke dalam kapal. Gagal pada hari pertama, akhirnya pasukan komando Angkatan Darat berhasil didaratkan pada hari kedua. Tentu saja pada malam hari yang gelap gulita.
Kapal selam kembali ke Teluk Peleng, Sulawesi. Sudah ada puluhan kapal perang disiapkan untuk mendaratkan pasukan di Pulau Biak. Rinciannya, sekitar 40 kapal perang atas air, 20 kapal niaga yang dimiliterisasi untuk keperluan logistik dan rumah sakit. Termasuk 10 kapal selam.
Seperti biasa dalam operasi militer, sudah disiapkan pula ratusan peti jenazah untuk para tentara yang ditugaskan ke medan laga, Irian Barat. Kelak para awak kapal selam dan pasukan komando yang berhasil mendarat ke wilayah musuh diberikan Bintang Sakti atas keberaniannya yang luar biasa.