Ahad 09 May 2021 06:24 WIB

Mudik Itu Baik, Hanya Tidak Saat Lebaran Tahun Ini

Pemerintah tak ingin kerumunan Lebaran makin memperburuk keadaan.

Kendaraan roda dua pemudik dihentikan petugas saat penyekatan arus mudik lebaran 2021 di Pos Polisi Gamon, Cikalongsari, Kec. Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (8/5). Sekitar 115 kendaraan roda dua diputarbalik karena tidak dilengkapi dengan dokumen perjalanan yang lengkap. Foto : Edwin Putranto/Republika
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Kendaraan roda dua pemudik dihentikan petugas saat penyekatan arus mudik lebaran 2021 di Pos Polisi Gamon, Cikalongsari, Kec. Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Sabtu (8/5). Sekitar 115 kendaraan roda dua diputarbalik karena tidak dilengkapi dengan dokumen perjalanan yang lengkap. Foto : Edwin Putranto/Republika

Oleh : Yuddy Chrisnandi*

REPUBLIKA.CO.ID,  Sebagaimana tahun lalu, tahun ini pun pemerintah melarang warga untuk mudik Lebaran. Alasannya kuat, Lebaran adalah momen silaturahmi, pertemuan, kumpul-kumpul yang boleh jadi melibatkan tak hanya puluhan bahkan ratusan orang. Sementara sebulan terakhir, pandemi COVID-19 di seluruh dunia kembali mengalami masa-masa gawat dengan naiknya angka infeksi dan kematian harian. Di India, pandemi COVID kini bahkan layaknya tsunami, dengan angka kematian harian yang bisa membuat bulu roma berdiri. Kontan negara itu menjadi paria di dunia yang tengah dirundung ketakutan dan phobia.

Semua negara tetangga India menutup pintu perbatasan, mobilitas warga Hindustan ke negeri-negeri sekitar ditolak, sementara di dalam negeri kondisi mulai kacau karena rumah- rumah kremasi tak bisa lagi menampung mayat yang berderet antre. Alhasil, jalanan, taman kota dan lapangan pun menjadi arena pembakaran mayat, langsung dengan unggun-unggun api yang asapnya menyebar terror, bau khas kematian.

Pemerintah Indonesia tentu saja tak ingin kondisi yang mewujud di India itu juga terjadi di negara kita. Tsunami COVID-19 di India tampaknya dipicu dua kerumunan yang massif terjadi. Pertama, kerumunan karena momen kampanye politik yang dipaksakan terus berlangsung. Kedua, kerumunan massal perayaan Kumbh Mela, saat ratusan ribu, bahkan jutaan orang berkumpul, berdesak, mandi bersama di kotornya Sungai Gangga. Jarak sosial dan memakai masker ?, tak ada yang peduli hingga akhirnya wabah mengambil korban ribuan orang mati mulai menyadarkan setiap orang. Keteledoran itu membuat India yang sebelumnya banyak dipuji dalam penanganan pandemic COVID, menjadi negara dengan angka kematian harian tertinggi.

Pemerintah tak ingin kerumunan Lebaran menjerumuskan Indonesia ke lubang yang lebih dalam, di tengah situasi yang sudah buruk ini. Tapi kita semua telah sama-sama membaca berita, imbauan pemerintah kurang diacuhkan sebagian warga. Kementerian Perhubungan awal pekan ini mengakui, 18 juta orang telah mudik dari kota-kota ke sekian banyak kota kecil dan perdesaan Jawa. Mereka nekad menggunakan akal untuk menerobos 381 titik penyekatan Polisi, yang dijaga 150 ribu personelnya. Tugas para aparat Polisi itu satu, menghalau para pemudik kembali ke kota-kota besar tempat mereka selama ini tinggal. Di atas, pejabat Polri menyatakan semua harus dilakukan dengan penuh kemanusiaan alias humanis, di lapangan kita membaca bahwa aparat bersenjata lengkap dan regu-regu anjing pun terlibat.

Dalam kondisi normal tanpa pandemi, tradisi mudik sebenarnya sangat positif. “Orang-orang kota” sudah bekerja sepanjang tahun, mengumpulkan bekal untuk mudik yang hanya beberapa hari. Di kampung, mereka tak hanya bersilaturahmi dan berbagi rejeki, melainkan pula mengobati diri.

Kota telah membuat mereka berubah. Sebagaimana studi yang dilakukan Phillip Zimbardo, seorang ahli psikologi sosial, orang-orang kota lebih agresif, lebih galak, lebih loba dan tamak. Semua terjadi karena mereka hidup dalam masyarakat anonim yang tak saling kenal. Orang-orang kota, mungkin bisa menjadi gambaran paling pas dari pernyataan Thomas Hobbes, “homo homini lupus”, serigala bagi sesamanya sendiri.

Lebih jauh, Erich Fromm percaya bahwa semua tekanan hidup itu membuat banyak orang kota berkepribadian nekrofil, alias kepribadian mayat hidup, zombie. Sebagaimana mayat, mereka sudah kehilangan perasaan. Orang kota bisa merampas tanpa risih, bisa memberi luka tanpa iba. Kampunglah yang berpeluang memulihkan kesehatan jiwa orang kota. Ke kampung, bersilaturahmi, berbagi rejeki, melihat ke bawah untuk mensyukuri pencapaian diri, bersujud di kedua kaki Aba dan Ummi, semua itu melunakkan hati yang keras, getas dan hitam berjelaga sekian lama. Alhasil, mudik sejatinya sangat baik.

Namun tentu saja, pada Lebaran ini kita tak usah dulu mudik ke kampung. Kita tahan rasa hingga peluang kerumunan luruh perlahan. Lalu kita akan punya peluang datang, menyungkur dan menyesap asa dari ridho orang tua, memberi sebagian rejeki kepada mereka yang kurang beruntung dibanding kita, menebar kebaikan.

 

Sebagai umat Islam, kita punya kewajiban untuk mematuhi pemerintah (ulil amri minkum- dalam Q.S An Nisa 59). Jika produk dari ulil amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya semua itu wajib diikuti. Larangan mudik selama Lebaran, dengan segala argumentasinya, tentu saja termasuk hal-hal yang selaras dengan ketentuan Allah dan rasul- Nya tersebut.

Marilah kita bertanya kepada diri masing-masing, di tengah tak mampunya kita mudik Lebaran dua tahun ini, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk mudik yang lebih pasti ? Mudik untuk kembali ke “kampung halaman”, tempat nenek moyang kita Nabi Adam dan Siti Hawa berasal. Dalam surat Al-Ghashiyyah, Allah menyatakan kepada Dialah kita kembali. Allah-lah sejatinya tempat mudik kita. “Kepada Allah tempat mudik kalian. Kepada Allah tempat mudik mereka semua”. Kalimat seperti itu disebut sampai enam belas kali dalam Al-Qur'an. Jadi, kita berasal dari Surga, tidak pada tempatnya untuk kembali ke kampung lain yang nista.

Sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, adalah saat-saat Allah memberikan pembebasan dari neraka kepada kita semua. Marilah kita mengisinya dengan sepenuh sadar dan keikhlasan, semata untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Mumpung masih bulan ramadhan, jadikan bulan ini madrasah yang mendidik kita untuk menajamkan mata batin, agar dapat menembus tirai kegaiban yang selama ini menjadi hijab bagi spiritual kita. Ramadhan adalah akademi yang melatih kita untuk menerbangkan ruhani agar bisa hinggap dalam pangkuan kasih sayang Allah. Penuhi bulan ini dengan tafakur dan amal, dengan refleksi dan aksi, dengan peribadatan dan perkhidmatan.

Mendekatkan diri kepada Allah bisa beragam bentuknya. Bisa dengan teguh menjalankan shalat-shalat sunnah, terutama shalat malam. Bisa dengan mendaraskan wirid berupa tahlil, tahmid, takbir pada dini hari yang sepi, di saat orang lain dimabuk mimpi. Namun, konon ada cara yang paling disukai Allah, yakni memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang hancur hatinya.

Ada sebuah hadits qudsi yang berbunyi, ”Allah akan memanggil hamba-hamba-Nya, lalu berkata kepada salah seorang di antara mereka, Aku lapar, tapi kamu tidak memberi-Ku makan.” Ia berkata kepada yang lainnya, "Aku haus, tapi kau tidak memberi-Ku minum." Allah berkata kepada hamba-Nya yang lainnya lagi, "Aku sakit, tapi kau tidak menjenguk- Ku”. Allah ada pada mereka yang lapar, terutama yang bergelimpangan di sekeliling kita. Ada pada mereka yang haus akan keadilan, ada pada mereka yang yang tengah mengalami nestapa karena tidak tegaknya keadilan.

Mari kita mempersiapkan mudik dengan baik.

 

*) Penulis adalah Duta Besar LBBP Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia/Wakil Ketua Dewan Pakar DPP Partai Golkar/Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement