REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memandang pengembangan sektor energi terbarukan masih menghadapi hambatan pasar. Akibatnya, sektor ini tidak bisa signifikan menyalip energi kotor dari bahan bakar fosil.
Ketua Umum METI Surya Darma dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (10/5), mengatakan, hambatan masuk pasar atau market entry barriers dengan komponen berupa subsidi energi untuk bahan bakar fosil, tarif regulasi elektrifikasi, dan tarif energi bersih yang tidak atraktif menjadikan proyek pengembangan energi terbarukan cenderung lamban.
"Tiga aspek ini harus dihilangkan jika energi terbarukan ingin dikembangkan lebih tinggi," kata Surya Darma.
Pada 2021, pemerintah memberikan subsidi untuk jenis bahan bakar minyak tertentu seperti solar dan elpiji tiga kilogram mencapai Rp54,5 triliun. Naik dari tahun 2020 yang hanya sebesar Rp41,1 triliun.
Padahal, harga minyak dunia sempat menyentuh posisi terendah, bahkan sempat menyentuh harga di bawah 0 dolar AS untuk pertama kali dalam sejarah pada April 2020, tetapi subsidi yang diberikan tetap tinggi. Selain subsidi BBM, pemerintah juga memberikan subsidi untuk listrik yang mayoritas bahan bakar pembangkit masih bersumber dari energi fosil.
Sepanjang tahun ini, subsidi listrik yang digelontorkan mencapai Rp53,6 triliun, lebih rendah ketimbang tahun 2020 yang sebesar Rp54,5 triliun. Di sisi lain, harga energi terbarukan masih terbilang mahal sehingga membuat proyek pengembangannya masih kurang menarik.
Surya menjelaskan pemerintah perlu merumuskan harga kebijakan terlebih dahulu sebelum mendorong pengembangan energi terbarukan agar masyarakat dan industri tertarik beralih dari energi kotor ke energi bersih. Dia menyampaikan, bahwa stimulus fiskal merupakan aspek utama untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan skala besar di Indonesia.
Apabila harga kebijakan telah ditetapkan, penentuan harga jual untuk produk energi terbarukan akan lebih mudah. Penentuan harga kebijakan dilakukan dengan cara harga keekonomian dikurangi harga subsidi dikurangi stimulus.
Jika stimulus dan subsidi tidak ada, maka harga kebijakan itu sama dengan harga keekonomian. Kondisi ini yang sering dirasakan berat oleh konsumen energi terbarukan mengingat kemampuan finansial mereka masih tergolong rendah.
Selanjutnya jika subsidi tidak ada, harga kebijakan akan sama dengan harga keekonomian dikurangi stimulus. Apabila stimulus tidak ada, maka harga kebijakan sama dengan harga keekonomian dikurangi subsidi sehingga dapat memberatkan APBN.
"Fungsi stimulus sangat penting untuk menurunkan harga jual agar terjangkau oleh masyarakat, walaupun usulan ini masih banyak diperdebatkan," kata Surya.