REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil memandang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri dan empat pimpinan lainnya tejelas telah melawan perintah Presiden Joko Widodo yang akuntabel. Sebelumnya, Presiden telah menyatakan hasil Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) tidak serta merta dapat digunakan untuk memberhentikan pegawai KPK.
Pernyataan Presiden tersebut harus menjadi pertimbangan utama setelah Revisi UU 30/2002 dengan UU 19/2019 karena KPK dimasukkan dalam rumpun eksekutif sehingga pengemban tanggung jawab tertinggi adalah Presiden. Namun, berdasarkan hasil koordinasi KPK, BKN, Kemenpan RB, Kemenkumham, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyatakan, bahwa 51 dari 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus sementara 24 sisanya dapat dibina lebih lanjut sebelum diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Firli Bahuri dan Pimpinan KPK lainnya jelas melakukan kejahatan konstitusional karena melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. MK adalah penafsir Konstitusi sehingga jelas Firli Bahuri dengan keputusannya memberhentikan pegawai KPK, para pimpinan KPK telah melakukan tindakan inkonstitusional karena membangkang terhadap Undang-Undang Dasar 1945," tegas salah satu perwakilan Koalisi M Isnur di Jakarta, kemarin.
Tak hanya pembangkangan, Koalisi menilai, adanya muslihat yang secara sistematis dilakukan untuk menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan 51 orang terbaiknya. Pada Selasa (25/5) kemarin selain melakukan pengumuman rencana pemberhentian 51 pegawai KPK, Deputi Penindakan KPK, Karyoto, mengatakan akan meminta penyidik dari instansi lain.
Bahkan, Deputi Penindakan Karyoto juga mengatakan sebelum pemecatan sudah ada slot untuk penambahan penyidik. Kebutuhan penambahan penyidik ini sangat berkontradiksi dengan rencana pemberhentian 51 pegawai KPK dengan alasan TWK tersebut sehingga sulit melihat logika yang jelas dari rentetan pernyataan ini.
"Fakta di atas juga menunjukan ada muslihat yang secara sistematis dilakukan menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan 51 orang terbaiknya. Inilah sesungguhnya motif dari Firli Bahuri dkk yaitu melakukan pembusukan dan pelemahan KPK," tegas Isnur.
Adapun rangkaian tindakan pelemahan KPK dimulai dari penghilangan independensi lembaga, meruntuhkan wibawa dan kehormatan KPK dan menyingkirkan, setidaknya, 51 pegawai KPK. Koalisi memandang, seluruh perilaku absurd, naif dan melawan hukum serta aktivasi dan silat lidah yang dipertontonkan ke publik, tidak hanya menista akal sehat tapi juga menghina nurani dan mendekonstruksi semangat pemberantasan korupsi.
Berdasarkan argumen tersebut, Koalisi meminta Presiden RI, Joko Widodo agar seluruh kebangkrutan pemberantasan korupsi tidak menjadi legacynya, yaitu dengan cara: menarik kembali delegasi wewenang Pimpinan KPK mengenal peralihan status ASN karena telah nyata adanya pelanggaran sistem merit dan menjaga efektifitas penyelenggaran pemberantasan korupsi sesuai PP 17/2020 Manajemen ASN Pasal 3 ayat (7). Dengan kata lain Presiden menyatakan pemberhentian tidak sah dan alih status ASN berjalan secara otomatis dan administratif sesuai putusan MK.
"Jika tidak, maka Kehancuran pemberantasan korupsi akan segera terjadi dan sejarah akan mencatat kejadian dimaksud terjadi di era kepemimpinannya ketika menjadi Presiden RI. Tes Wawasan Kebangsaan, alih-alih memastikan alihfungsi pegawai KPK menjadi individu berintegritas dalam menjalankan perannya, malah menjadi legalisasi kezaliman bagi sekelompok individu," tegas Isnur.