REPUBLIKA.CO.ID, --- Sebuah koalisi politik menjelma di Israel untuk menggeser Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Di dalamnya partai ultra kanan Yahudi bersanding tangan dengan Partai Islam, Ra'am. Namun Netanyahu tidak tinggal diam.
Selambatnya pada Rabu (2/6), tokoh oposisi Israel, Yair Lapid, harus mengumumkan koalisi mayoritas, sesuai mandat yang diberikan Presiden Reuven Rivlin sejak lima Mei silam. Jika gagal, PM Benjamin Netanyahu akan kembali berpeluang membentuk pemerintahan sesuai tradisi politik di Knesset.
Harapan bagi Netanyahu menyusut sejak bekas sekutu politiknya, Naftali Bennett, menyatakan dukungan terhadap koalisi Yair Lapid, Minggu (30/5). Bennett adalah bekas komandan pasukan khusus, Sayeret Matkal, yang dituduh bertanggung jawab atas pembantaian warga sipil Qana dalam perang di Lebanon.
Usai lama mengabdi di pemerintahan Netanyahu, Bennett akhirnya membelot dan membentuk Partai Yamina. Dalam pemilu Maret silam, Yamina mendapat 6,2% suara, adapun Partai Likud mendapat 24,19%, sementara Yesh Atid pimpinan Yair Lapid mendapat 14% suara. Posisi itu menempatkan Bennett sebagai juru penentu dalam proses pembentukan koalisi.
Menurut laporan media-media lokal, Bennett dan Lapid sepakat menggilir jabatan perdana menteri dalam "Kabinet Perubahan" selama masing-masing dua tahun. Bennett akan didahulukan, sementara Lapid menyusul memerintah Israel pada tahun ketiga.
Koalisi anti-Netanyahu yang sedang digodok di Yerusalem dikhawatirkan rapuh, karena menggabungkan hampir semua spektrum politik, yakni partai kiri, tengah dan kanan jauh. Sudah begitu, koalisi Lapid juga dibangun di atas dukungan partai Arab, Ra'am, yang menolak program politik pro-pemukim Yahudi milik Bennett.
Koalisi lintas ideologi melawan Netanyahu
Menurut laporan Times of Israel, Partai Ra'am akan mendukung pemerintahan Bennett dan Lapid secara aktif di parlemen, dan tidak menjadi bagian dari kabinet pemerintah. Sebagai gantinya kedua pemimpin setuju menghormati tuntutan Ra'am terkait nasib warga Arab.