Oleh : Esthi Maharani, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Nama pemimpin partai Yamina, Naftali Bennett diprediksi kuat akan menggantikan Benjamin Netanyahu sebagai Perdana Menteri Israel. Ia merupakan mantan pengusaha teknologi dan seorang miliarder.
Jika menilik ke masa lalu, Bennett sering disebut sebagai murid Netanyahu. Keduanya telah berbagi ideologi dan bekerja bersama-sama. Misalnya saja, Bennet telah bertugas di beberapa pemerintahan partai Likud yang dipimpin Netanyahu. Bennet pernah menjadi kepala staf Netanyahu pada 2006 sampai 2008. Bennet juga menjadi menteri pertahanan di pemerintahan Netanyahu.
Pria berusia 49 tahun itu telah memberikan dukungan kepada pemilih sayap kanan sepanjang kariernya. Ia menyerukan Israel mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat yang diduduki dan mengambil tindakan keras terhadap Iran.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir hubungan keduanya berseberangan. Bennett telah meninggalkan Partai Likud pimpinan Netanyahu dan bergabung dengan partai sayap kanan Rumah Yahudi. Bersama partai keagamaan itu, dia menjadi anggota parlemen setelah sukses dalam Pemilu 2013.
Kariernya di pemerintahan terbilang naik turun. Ia pernah menjabat sebagai menteri ekonomi dan menteri pendidikan dalam setiap pemerintahan koalisi sampai 2019 ketika aliansi Kanan Baru bentukannya gagal meraih kursi dalam pemilihan di tahun yang sama. Tetapi, tak sampai satu tahun, Bennett kembali ke parlemen sebagai ketua partai Yamina. Setelah itu, karier politiknya terangkat dan dunia politik mencapnya sebagai sosok ultra-nasionalis. Bennett pun tak ragu melabeli dirinya lebih berhaluan kanan daripada Netanyahu.
Kini, keduanya memulai persaingan demi merebut kursi Perdana Menteri Israel. Bennett mengklaim partai-partai kiri akan mendukungnya untuk memimpin pemerintahan koalisi. “(Partai) kiri jauh dari kompromi yang mudah di sini, ketika (dukungan) itu diberikan kepada saya, peran perdana menteri. Itu niat saya untuk melakukan yang terbaik untuk membentuk pemerintahan persatuan nasional bersama dengan teman saya Yair Lapid, sehingga, dengan izin Tuhan, bersama-sama kita dapat menyelamatkan negara dari kekacauan dan mengembalikan Israel ke jalurnya,” ucapnya, dikutip laman Times of Israel.
Sementara Netanyahu masih berambisi mempertahankan jabatannya. Netanyahu pun gencar menuding Bennet mengkhianati kelompok sayap kanan Israel. Dia mendesak politisi nasionalis tidak bergabung dan memberi dukungan kepada Bennett.
“Pemerintahan seperti ini membahayakan keamanan Israel dan juga membahayakan masa depan negara,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi pada Ahad (30/5).
Perebutan kekuasaan itu meruncing setelah pertempuran 11 hari antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Bennett setuju bergabung dengan partai Yesh Atid pimpinan Yair Lapid. Mereka sepakat berkoalisi untuk mendepak Netanyahu dari posisi perdana menteri yang didudukinya selama 12 tahun. Lapid telah menawarkan Bennett menjalani masa jabatan pertama dalam pemerintahan bergilir. Sementara Netanyahu membentuk pemerintahan koalisi dengan Benny Gantz, pemimpin partai Blue and White.
Untuk diketahui, selama dua tahun terakhir, Israel telah menggelar empat kali pemilu. Hal itu terjadi karena tak ada yang menghimpun ambang batas suara dukungan untuk menjabat sebagai perdana menteri dari parlemen Israel (Knesset).
Dalam pemilu 23 Maret lalu, Netanyahu memperoleh dukungan 52 dari 120 anggota Knesset. Lapid mengantongi 45 dukungan, sementara Bennett mendapatkan 7 dukungan. Untuk membentuk kabinet atau pemerintahan, sebuah partai di Israel minimal harus memiliki 61 kursi mayoritas di Knesset.