REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sikap Ketua DPR RI Puan Maharani yang kerap mengingatkan bangsa Indonesia untuk selalu berpegang dan menjadikan Pancasila sebagai inspirasi dalam kehidupan sehari-hari mendapat dukungan. "Hal tersebut tidak hanya karena posisi dan peran Puan sebagai Ketua DPR RI, melainkan juga karena kenyataan tak terbantah bahwa Puan adalah cucu biologis sekaligus cucu ideologis Bung Karno sebagai ‘Penggali Pancasila’," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), Varhan Abdul Aziz, di Jakarta, Kamis (3/6).
Menurut Varhan, mengamalkan Pancasila laiknya memenuhi pesan agama tentang sembahyang (shalat). Semua dimulai dengan meninggikan peran Tuhan dalam kehidupan (Ketuhanan) sebagai gantungan integritas diri, untuk kemudian diakhiri dengan menebar salam damai sejahtera ke seluruh penjuru bumi (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
“Jadi, Puan dengan tegas menekankan bahwa mustahil ada dikotomi antara jiwa seorang Pancasilais dan seorang religius. Menjadi Pancasilais itu sejatinya menjadi seorang saleh atau religius. Saleh secara hubungan ketuhanan (hablum minal Allah), dan sekaligus saleh secara kemanusiaan, yang memenuhi keempat sila lainnya dalam Pancasila,” kata Varhan.
Oleh karena itu, masih menurut dia, sangat ganjil manakala seseorang yang ingin menjadi religius justru mempertentangkannya dengan Pancasila. “Demikian pula sebaliknya, nyaris mustahil seorang Pancasilais bukan sekaligus seorang religius,” kata Varhan.
Varhan menunjukkan bahwa pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari akan menerbitkan energi positif yang meninggikan kesadaran hikmat-kearifan dan meluaskan pengamalan kasih serta kebajikan dalam kehidupan keseharian.
“Bayangkan, seseorang yang menghayati, mengamalkan seluruh sila yang ada dalam Pancasila, kehidupannya sudah pasti hanya akan dipenuhi energi positif yang juga memberikan dampak kebaikan bagi lingkungannya. Bila mayoritas warga Indonesia hidup dalam lingkup energy positif ini, mana mungkin kalau Indonesia tidak menjadi negara besar yang akan disegani dunia?” kata Varhan.
Sebaliknya, kata Varhan, religiusitas yang timpang tidak jarang membuat pelakunya kehilangan keseimbangan antara sisi pengabdian vertikal dengan hubungan baik dengan sesama manusia. “Akibatnya tidak jarang pelakunya justru menjadi kaum radikal yang salah langkah dalam memaknai pengabdian kepada Tuhan,” kata dia. Varhan menunjuk contoh paling aktual, yakni tertangkapnya 10 orang kelompok radikal yang diduga bermaksud mengebom rumah ibadah di Merauke, belum lama ini.
“Itu yang terjadi manakala sisi Ketuhanan lepas dari kesadaran sebagai sesama anak bangsa yang harus menyadari keberagaman dalam Persatuan Indonesia,” kata dia.