REPUBLIKA.CO.ID, Mantan ajudan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) nonaktif Nurdin Abdullah, Syamsul Bahri, pada Kamis (3/6) dihadirkan dalam sidang lanjutan kasus suap oleh terdakwa kontraktor Agung Sucipto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Ia mengakui telah menerima uang titipan miliaran rupiah dari pengusaha yang dikemas dalam kardus.
"Saya hanya diperintah (Nurdin Abdullah) untuk mengambil titipan ke sejumlah nama-nama, kemudian saya bawa ke rumah jabatan," ujar Syamsul Bahri di hadapan Majelis Hakim Tipikor Makassar yang diketuai Ibrahim Palino.
Syamsul mengatakan, dia bersama ajudan lainnya, yakni Salman Nasir, sering bergantian mengawal Gubernur Sulsel nonaktif Nurdin Abdullah, termasuk menjadi penghubung terhadap para pejabat maupun relasinya.
Syamsul Bahri mengungkapkan, pada Januari 2021, dia pernah diminta untuk menemui Robert untuk mengambil uang titipan yang dikemas dalam kardus, kemudian dibawa ke kamar pribadi Nurdin Abdullah di Rumah Jabatan Gubernur, Jalan Sungai Tangka, Makassar. Usai mengambil dan membawa uang itu hingga ke kamar pribadi Nurdin Abdullah, Syamsul yang sudah 10 tahun lebih mendampinginya itu, kemudian melaporkan jika titipan sudah diletakkan di atas tempat tidur.
Setelah beberapa hari kemudian, dia kembali disuruh untuk bertemu dengan Khaeruddin di rumahnya, di Perumahan The Mutiara Jalan AP Pettarani, untuk mengambil kardus berisikan uang yang selanjutnya dibawa kembali ke ruang kerja Nurdin Abdullah.
"Saya hanya diminta menemui orang-orang itu untuk mengambil titipan. Isinya uang, tapi berapa jumlah pastinya saya tidak tahu, kemungkinan masing-masing itu Rp 1 miliar," katanya lagi.
Setelah melaporkan dan menyerahkan semua uang dalam kardus itu, Syamsul kemudian diminta menemui kontraktor lainnya Ferry Tandiadi untuk mengambil uang. Syamsul mengaku uang dari Ferry Tandiadi sekitar Rp 2,2 miliar sesuai dengan konfirmasi penyidik saat dirinya menjalani pemeriksaan di KPK.
Usai bertemu Ferry, dia pun menemui kontraktor keempat Haji Momo dan menerima amplop. "Kalau titipan dari Haji Momo itu amplop, dan itu saya ambil saat waktu sudah larut malam. Nanti keesokan harinya saya melapor ke Bapak dan menyerahkannya," katanya lagi.
Sementara untuk ajudan lainnya, Salman Natsir, juga mengaku pernah dititipi oleh Agung Sucipto untuk memberikan koper kepada Nurdin Abdullah. "Saya diminta untuk menemui Pak Agung dan saya diberikan koper, saya tidak tahu isinya. Nanti saya tahu isinya uang, setelah Ibu Sari (Kabiro Pengadaan Barang dan Jasa Pemprov Sulsel) mengantar koper itu ke Bank Mandiri KCP Panakkukang," katanya lagi.
Salman mengaku, uang yang dalam koper berwarna kuning itu harus ditukar dengan uang baru di Bank Mandiri KCP Panakkukang. Dan, saat itu stok uang baru hanya ada Rp 400 juta.
"Saya diminta bawa itu uang ke bank untuk ditukar dengan uang baru. Saya serahkan kopernya itu langsung kepada Pak Ardi (Kepala KCP Mandiri Panakkukang) di depan teller kemudian saya diajak ke ruangannya," katanya pula.
Salman menyatakan, jika saat itu uang sejumlah Rp 400 juta kurang Rp 1,6 juta, kemudian melaporkan kekurangannya kepada Sari Pujiastuti, dan dirinya diminta untuk menggenapkannya dulu menggunakan uang pribadinya.
"Pakai uang saya Rp 1,6 juta kemudian saya bawa ke rujab. Setelah itu saya pergi melapor ke Pak NA di rumah pribadinya di Perumdos. Setelah melapor kemudian kembali ke KCP Mandiri Panakkukang mengambil lagi uang sebanyak Rp 400 juta dan serahkan ke Nurdin Abdullah di rujabnya. Setelah tuntas, saya ketemu Ibu Sari dan uang saya yang Rp 1,6 juta digantikan sebanyak Rp 10 juta," ujarnya lagi.
Kasus yang menjerat Nurdin Abdullah bermula saat tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah orang di Jalan Sultan Hasanuddin terkait dugaan suap usai menerima laporan pada Jumat, 26 Februari silam. Direktur Utama PT Agung Perdana Bulukumba, Agung Sucipto, diketahui kala itu memberikan uang melalui Edy Rahmat, selalu sekretaris Dinas PUTR Sulsel.
Usai transaksi, tim menangkap Agung Sucipto saat perjalanan pulang menuju Kabupaten Bulukumba, sedangkan Edy Rahmat telah diamankan sebelumnya. Dalam proses pengembangan, tim bergerak ke Rumah Jabatan Gubernur Sulsel pada Sabtu (27/2) dini hari.
Tim selanjutnya menjemput Nurdin Abdullah karena disebut-sebut terlibat kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Uang dua koper yang disita dari operasi tersebut senilai Rp2 miliar.
Hingga kini, KPK terus mendalami dugaan aliran uang dari beberapa pihak untuk kepentingan Nurdin Abdullah. KPK, pada Kamis (20/5), misalnya, memeriksa tiga saksi untuk tersangka Nurdin dan kawan-kawan dalam penyidikan kasus dugaan suap perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021. Pemeriksaan digelar di Polres Maros, Sulsel.
"Para saksi didalami pengetahuannya, antara lain, terkait dengan adanya dugaan aliran sejumlah uang dari beberapa pihak untuk kepentingan tersangka NA," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta.
Mereka yang diperiksa, yaitu Aminuddin selaku pegawai negeri sipil (PNS) dan dua wiraswasta masing-masing Suardi Dg Nojeng dan Saenuddin. Dalam penyidikan kasus tersebut, KPK pada Jumat ini juga kembali memanggil tiga saksi lain untuk tersangka Nurdin dan kawan-kawan, yakni Riski Anreani selaku mahasiswa dan dua wiraswasta masing-masing Andi Kemal Wahyudi dan Henny Dhiah Tau Rustiani.
Untuk diketahui, KPK saat ini masih melakukan penyidikan terhadap dua tersangka penerima suap kasus tersebut, yaitu Nurdin Abdullah (NA) dan Edy Rahmat (ER) selaku sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel atau orang kepercayaan Nurdin. Sementara, pemberi suap adalah kontraktor/Direktur PT Agung Perdana Bulukumba Agung Sucipto yang saat ini sudah berstatus terdakwa dan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Makassar.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK disebut peran Agung sebagai pemberi suap kepada Nurdin Abdullah. Bahkan, terdakwa sudah dua kali memberikan uang kepada yang bersangkutan sejak awal 2019 hingga awal Februari 2021.
Jumlah dana suap yang diterima, pertama dengan nilai 150 ribu dolar Singapura diberikan di Rumah Jabatan Gubernur Jalan Sungai Tangka awal tahun 2019, sedangkan untuk dana kedua, saat operasi tangkap tangan tim KPK senilai Rp 2 miliar pada awal Februari tahun ini.
Dana tersebut diduga sebagai uang pelicin dalam hal pemenangan tender hingga pengerjaan proyek pembangunan infrastruktur di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel pada beberapa kabupaten setempat.
Usai diperiksa KPK pada 5 Maret lalu, Nurdin Abdullah mengatakan,sejumlah uang yang telah diamankan KPK untuk bantuan masjid. "Itu kan uang masjid ya, uang masjid. Itu bantuan masjid, nanti lah kami jelaskan," kata Nurdin di gedung KPK, Jakarta, Jumat.
Nurdin membantah terlibat dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021. "Tidak ada yang benar itu. Pokoknya tunggu saja nanti di pengadilan ya kami hargai proses hukum," ucap dia.