REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lisnawanty ST MKom
Internet merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi masyarakat pada semua kelompok usia. Internet hampir menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun organisasi. Tidak hanya berperan sebagai sarana komunikasi, media pencarian informasi, sarana Internet pendukung pendidikan, hiburan, bahkan dewasa ini internet dijadikan sebagai media membangun relasi. Sehingga, tidak heran banyak masyarakat tumbuh, berkembang, dan bahkan bergantung dalam dunia digital.
Di Indonesia, masyarakat digital dirujukkan pada masyarakat yang lahir pada tahun 1995 dan setelahnya. Jumlah masyarakat digital saat ini semakin tumbuh pesat. Masyarakat digital cenderung tumbuh dalam teknologi digital ini memiliki bahasa dan identitas sendiri di dunia internet. Hingga pada tahun 2001, istilah “Digital Native” dan “Digital Immigrant” mulai kita kenal.
Digital Native merupakan generasi dengan kisaran usia 12 tahun sampai dengan 34 tahun yang hidup dalam dunia digital. Dengan kata lain, kelompok Digital Native merupakan anak-anak yang sudah melek akan Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) dan telah terbiasa menggunakan peralatan canggih, seperti ponsel, PC, netbook, iPad dan peralatan canggih lainnya. Cara mereka memahami penggunaan peralatan canggih cenderung mandiri, bahkan tidak membutuhkan buku manual sebagai panduan.
Beda halnya dengan kelompok Digital Immigrant, yakni generasi dengan kisaran usia 35 tahun ke atas yang pernah hidup di masa teknologi belum berkembang, lalu kemudian mengikuti masa perkembangannya hingga saat ini. Umumnya, para kelompok Digital Immigrant perlu belajar terlebih dahulu dan tidak selalu mudah mempelajari perkembangan peralatan canggih masa kini.
Sebaran pengguna internet
Berikut adalah kilasan data sebaran pengguna internet berdasarkan kelompok usia yang diperoleh berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) Proyeksi 2019 dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tahun 2019-2020.
Jika kita amati berdasarkan data sebaran pengguna internet berdasarkan usia yang diperoleh dari APJII menunjukkan bahwa begitu besar minat pengguna internet dari kalangan Digital Native.
Namun, yang perlu menjadi fokus perhatian adalah bukan dari jumlah pengguna internet dari Digital Native, melainkan fokus Digital Native dalam memanfaatkan media internet. Positif atau negatif dengan adanya pemanfaatan internet perlu disikapi dengan bijak.
Internet, sudah semestinya menjadi sarana pendukung untuk memudahkan pengguna dalam menggali informasi dan pengetahuan agar wawasan yang diterima tidak hanya bersumber dari buku atau sarana pendidikan formal atau non formal. Namun, ketika Digital Native kurang mendapat pengawasan dari orang tua atau pendidik, dikhawatirkan dampak negatif cenderung yang akan terjadi, seperti hoaks, pornografi, atau dorongan akan adanya tindak kriminal.
Interaksi sosial generasi digital
Internet memberikan berbagai kemudahan bagi generasi digital memperoleh informasi di dunia tanpa batas ruang dan waktu. Internet pula menjadi perluasan alat komunikasi melalui media. Hal ini juga senada dengan pendapat McLuhan dalam Arifin (2011) mengenai teori perpanjangan alat indra, bahwa media merupakan perluasan alat indra manusia, di mana media menjadi alat yang berfungsi untuk mewujudkan gagasan manusia untuk dapat disampaikan kepada orang lain.
Nilai positifnya adalah 1) generasi digital dapat menjadi komunikator aktif dan kreatif secara virtual untuk mengeksplorasi dalam menyajikan konten yang positif dan bermanfaat, dan 2) generasi digital dapat memperoleh informasi secara luas untuk menambah pengetahuan (knowledge) untuk dimanfaatkan dalam berbagai kebutuhan, seperti pembelajaran daring, penyelesaian tugas sekolah/perkuliahan, pencarian informasi, dan lain-lain.
Namun di sisi lain, internet menjadi pelarian bagi para generasi digital ini untuk memperoleh hiburan sehingga mengakibatkan intensitas pengaksesan internet lebih lama dibandingkan dengan melaksanakan aktivitas interaksi sosial. Dengan kata lain, generasi digital memiliki kecenderungan menarik diri dari lingkungannya.
Fenomena penarikan diri inilah yang menjadikan generasi digital, terutama Digital Native, menjadi pribadi yang teralienasi dan adiktif (kecanduan) akan kebutuhan internet. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id/alienasi), alienasi ini diartikan sebagai penarikan diri atau pengasingan diri dari kelompok masyarakat. Padahal komunikasi atau interaksi sosial merupakan hal yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal inilah yang menjadikan internet juga memberikan dampak negatif bagi generasi digital manakala kontrol diri dan penggunaan media internet yang tidak tepat.
Komunikasi generasi digital
Menarik sekali jika membahas mengenai cara komunikasi generasi digital, baik Digital Native maupun Digital Immigrant, dalam kehidupan sehari-hari. Generasi Digital Immigrant cenderung pasif atau tidak ekspresif dalam menyampaikan gagasan, mengajukan pertanyaan, atau mempublikasikan sesuatu secara online. Sama halnya dalam aktivitas belajar mengajar.
Sebagai peserta didik, para Digital Immigrant cenderung menahan diri untuk mengajukan pertanyaan atau menyampaikan gagasan. Bagi mereka, mengajukan pertanyaan atau gagasan merupakan hal yang tabu dan hal itu dirasa sebagai bentuk penghormatan kepada pendidik. Sementara sebagai orang tua, para Digital Immigrant cenderung kurang percaya jika anak/murid dapat belajar di depan televisi atau sambil mendengarkan musik. Hal inilah yang menunjukkan bahwa para Digital Immigrant cenderung lebih kaku, menginginkan tahapan dengan jelas (tidak random), fokus, lebih individual dan serius.
Beda halnya dengan Digital Native. Para Digital Native tentu memiliki kemampuan dalam beradaptasi dan menerima informasi dengan cepat, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multi task). Mereka cenderung bekerja secara random dan lebih memilih bekerja dalam tim, serta menyukai suasana serius namun santai. Dalam aktivitas belajar mengajar, para Digital Native yang menjadi peserta didik akan melihat para pendidik sebagai fasilitator dan mampu menyelesaikan permasalahan.
Kesimpulan
Perbedaan cara berfikir antara Digital Native dengan Digital Immigrant inilah perlu menjadi perhatian. Meskipun orang tua saat ini merupakan Digital Immigrant, namun perlu terus belajar sepanjang hayat untuk memahami tumbuh kembang anak-anak sebagai generasi Digital Native. Menghadapi anak-anak Digital Native perlu komunikasi yang baik, dengan tujuan untuk dapat melakukan pendekatan kepada anak, mengetahui perkembangan pergaulan anak-anak di lingkungan luar, sehingga dapat mengontrol tumbuh kembang anak.
Begitu pentingnya anak-anak Digital Native ini diperhatikan. Hal sederhana yang mudah dilihat adalah begitu mudah anak berkomentar dalam status Facebook dan Twitter hanya untuk menjelek-jelekkan orang lain bahkan mengeluhkan tentang masalah dan orang tua sendiri. Maka dari itu, perhatian dari orang tua dan pendidik untuk mengawasi generasi Digital Native ini sangat diperlukan, dengan memberikan edukasi kepada anak mengenai keteladanan yang baik, agar pengembangan diri, perluasan wawasan dan ilmu pengetahuan, media eksplorasi keahlian/keterampilan, serta membangun motivasi diri untuk tumbuh dapat diarahkan secara positif.
Mengingat berita hoaks semakin merebak dan para penerima informasi cenderung mudah percaya pada berita yang tidak benar, maka penting bagi para Digital Native dan Digital Immigrant menelusuri berita yang diterima melalui beberapa langkah seperti (https://kominfo.go.id/): 1) Berhati-hati dengan judul provokatif, 2) Mencermati url situs yang dibuka, 3) Memeriksa fakta melalui sumber pengirim informasi, 4) Memeriksa keaslian foto melalui mesin pencari Google, 5) Bergabung dalam grup anti hoaks.
*) Penulis adalah Kaprodi Sistem Informasi Akuntansi Kampus Kota Pontianak Universitas Bina Sarana Informatika