REPUBLIKA.CO.ID, ULAN BATOR -- Mantan Perdana Menteri Mongolia, Ukhnaa Khurelsukh, menjadi presiden keenam yang dipilih secara demokratis di negara itu pada Rabu (9/6). Kemenangannya mengonsolidasikan kekuatan Partai Rakyat Mongolia (MPP) yang berkuasa.
Khurelsukh sebelumnya dipaksa mengundurkan diri sebagai perdana menteri setelah protes awal tahun ini. Namun dia dengan mudah mengalahkan Sodnomzudui Erdene dari pihak oposisi Democratic Party dan Dangaasuren Enkhbat dari Right Person Electorate Coalition dalam pemungutan suara nasional.
Dengan 99,7 persen suara dihitung dalam semalam, suara Khurelsukh telah mencapai 821.136 atau 68 persen dari total keseluruhan. Enkhbat berada di urutan kedua dengan 242.805 suara atau 20,1 persen, sementara Erdene berada di urutan ketiga dengan 72.569 suara atau 6 persen dari total suara yang masuk.
Khurelsukh akan menggantikan Khaltmaa Battulga yang ditolak kesempatannya untuk mencalonkan diri kembali. Kondisi ini menyusul perubahan kontroversial pada konstitusi Mongolia yang membatasi presiden untuk satu masa jabatan.
Sistem politik hibrida Mongolia memberikan hak kepada parlemen terpilih untuk menunjuk pemerintah dan memutuskan kebijakan. Namun, presiden memiliki kekuatan untuk memveto undang-undang dan mempekerjakan serta memecat hakim.
Dengan kepresidenan yang sering dikendalikan oleh partai oposisi, pembagian kekuasaan telah menciptakan kebuntuan politik yang diyakini beberapa pihak telah menghambat perkembangan Mongolia. Terpilihnya Khurelsukh diharapkan memberi MPP lebih banyak kendali atas tuas kekuasaan, meskipun dia berkewajiban untuk melepaskan afiliasi partainya segera setelah menjabat.