Ahad 13 Jun 2021 12:45 WIB

Ribuan Orang Tanda Tangan Petisi Tolak Film Christchurch

Serangan terhadap dua masjid di Christchurch tetap sangat brutal bagi Selandia Baru.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Ribuan Orang Tanda Tangan Petisi Tolak Film Christchurch. Imam Masjid Al Noor Imam Gamal Fouda, kiri, berterima kasih kepada pendukung di luar Pengadilan Tinggi Christchurch setelah sidang hukuman untuk warga Australia Brenton Harrison Tarrant, di Christchurch, Selandia Baru, Kamis, 27 Agustus 2020. Tarrant, seorang supremasi kulit putih yang menewaskan 51 jemaah di dua masjid di Selandia Baru pada Maret 2019 dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.
Foto: AP / Mark Baker
Ribuan Orang Tanda Tangan Petisi Tolak Film Christchurch. Imam Masjid Al Noor Imam Gamal Fouda, kiri, berterima kasih kepada pendukung di luar Pengadilan Tinggi Christchurch setelah sidang hukuman untuk warga Australia Brenton Harrison Tarrant, di Christchurch, Selandia Baru, Kamis, 27 Agustus 2020. Tarrant, seorang supremasi kulit putih yang menewaskan 51 jemaah di dua masjid di Selandia Baru pada Maret 2019 dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan dia tidak diajak berkonsultasi tentang film tentang serangan teror Christchurch. Sebelumnya, film They are Us telah diumumkan dengan fokus pada tanggapan Ardern terhadap serangan 2019 yang menewaskan 51 jamaah Muslim.

Petisi untuk menghentikan film tersebut telah terkumpul lebih dari 29 ribu tanda tangan pada Sabtu (12/6). Dilansir di RNZ, Ahad (13/6), Ardern mengatakan, pembuat film tidak berkonsultasi dengannya dalam bentuk apa pun tentang rencana mereka. Dia tidak mengutuk film itu meskipun petisi publik memintanya melakukannya.

Baca Juga

Tapi dia mengatakan banyak cerita dari 15 Maret bisa diceritakan dan dia tidak menganggap miliknya sebagai salah satunya. Ardern mengatakan serangan terhadap dua masjid itu tetap sangat brutal bagi Selandia Baru.

National Islamic Youth Association (NIYA) memulai petisi tadi malam, dengan mengatakan petisi itu mengesampingkan para korban dan penyintas. Kemudian disebut malah berpusat pada tanggapan seorang wanita kulit putih.

"NIYA berpendapat pengembangan film semacam itu tidak mewakili pengalaman hidup komunitas Muslim Christchurch, juga komunitas Muslim Selandia Baru yang lebih luas yang telah menghadapi kengerian dan teror yang menjadi sasaran serangan 15 Maret," tulis pernyataan petisi tersebut.

Petisi itu menyerukan para penyandang dana, produser dan industri film Selandia Baru untuk memboikot film tersebut dan mendesak Ardern untuk secara terbuka mengakhirinya. NIYA menuduh film itu 'tokenistik'. Kemudian menyatakan penulis skenario dan produser Selandia Baru, Andrew Niccol seharusnya tidak membuatnya.

"Tidak pantas bagi Niccol, seseorang yang tidak mengalami rasisme atau Islamofobia, untuk memimpin dan mengambil keuntungan dari sebuah cerita yang bukan miliknya untuk diceritakan," kata petisi tersebut.

Disebutkan bawa komunitas Muslim belum dikonsultasikan dengan benar, dan banyak dari anggota yang tidak mengetahui apa-apa tentang hal itu sampai diumumkan. Juru bicara Islamic Women's Council Anjum Rahman mengatakan Ardern harus melangkah lebih jauh dari sekadar mengatakan cerita orang lain harus digambarkan.

"Katakan film itu harus berpusat di sekitar demonisasi komunitas Muslim, supremasi kulit putih dan hal-hal yang menyebabkan serangan itu, berpusat di sekitar para korban, dan kemudian kisah setelahnya yang merupakan kisah Selandia Baru," ucap Rahman.

Dia mengatakan, ada cerita yang harus diceritakan, tetapi perlu fokus pada hal yang benar. Menurut Rahman, Niccol perlu memikirkan kembali proyek tersebut. Rahman percaya ada banyak orang di Christchurch yang bisa menulis cerita dengan lebih tepat.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement