REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengamat politik internasional, Imron Cotan, mengatakan, dalam solusi komprehensif masalah Israel-Palestina, Indonesia dapat memainkan peran penting dengan menyatukan dua faksi Palestina, antara Hamas dan Fatah. Hal ini dia sampaikan dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Jumat (11/6) malam.
"Indonesia masih bisa memainkan peran penting dengan menyatukan Fatah dan Hamas. Kalau mereka bersatu, semua komponen bangsa Palestina bisa melawan secara utuh Israel," kata Imron yang juga pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Australia pada 2003-2005.
Adapun Fatah yang mengendalikan Tepi Barat merupakan kelompok politik berpaham nasionalis yang mendukung Presiden Mahmoud Abbas. Sementara Hamas, yang menguasai Gaza, merupakan kelompok oposisi pemerintah.
Imron mengungkapkan, dia turut mendukung penyelesaian solusi dua negara. Selain itu, sebagai warga negara Indonesia, wajib memberikan bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan.
"Masalahnya, ada yang mengatakan kita harus membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Diiming-imingi dengan investasi. Saya teliti itu hanya hayalan. Hayalan-hayalan yang sama diberikan Mesir dan Turki ketika membuka hubungan dengan Israel bahwa Anda akan diberi peran penyelesaian Israel-Palestina, tetapi kenyataannya apa, tidak juga," ujar Imron.
Imron mengungkapkan, Israel ingin membuka persahabatan dengan negara-negara yang mendukung Palestina. Namun, sebenarnya tujuan mereka jelas, yakni solusi satu negara (one-state solution). Untuk itu, Indonesia perlu waspada dengan Israel.
Sementara itu, Ketua LazisMu Pusat, Hilman Latief, mengungkapkan, hubungan antara Indonesia dan Palestina sudah terjalin sejak lama dimulai sejak era pemerintahan presiden pertama Indonesia, Sukarno. Namun, setelah itu Indonesia juga memiliki hubungan dengan Israel. Pada 1979 dan 1982, Indonesia pernah membeli pesawat tempur dari Israel.
Hilman menjelaskan, kemudian pada masa presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pemerintah mencoba menawarkan gagasan yang terbuka untuk menjalin kerja sama dengan Israel. Presiden Gus Dur mencoba memulai hubungan dagang melalui Menperindag No 23/MPP/01/2001 pada 10 Januari 2001.
Kemudian, di Indonesia juga bermunculan organisasi Islam dan gerakan solidaritas Islam untuk Palestina. Beberapa di antaranya, yakni Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA), dan Komite Nasional untuk Rakyat Palestina.
"Tantangan untuk ormas Islam, yakni dialog intensif mungkin bisa dilakukan. Ada ruang untuk peace talks, humanitarian yang lebih terintegarasi, soft diplomacy, dan emotional national responses. Mempromosikan, mendorong keterlibatan dengan perdamaian. Kira-kira apakah mampu bangsa Indonesia dan kaum Muslim merumuskan respons yang lebih rasional. Dan, kira-kira Muhammadiyah bisakah memulai dengan itu, sedikit-sedikit dengan peace talks, humaniter, dan akhirnya bisa berdialog dengan berbagai pihak," ujar Hilman.