REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN--Pemerintah Iran menyebut telah mencapai kesepakatan dengan AS mengenai pencabutan sanksi terhadap sektor industrinya, termasuk energi. Tetapi mereka memperingatkan bahwa sangat sedikit waktu yang tersisa bagi kekuatan dunia untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015.
Dilansir dari Alarabiya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang potensi pelonggaran pembatasan perdagangan. Sanksi yang semuanya telah mencegah Republik Islam itu mengekspor minyak dan menghancurkan ekonominya. Kesepakatan penting itu ditunda karena masih ada masalah, katanya kepada wartawan di Teheran, Senin (14/6).
Pasar minyak mengamati dengan cermat negosiasi, yang berlangsung di Wina, untuk mengetahui petunjuk kapan anggota OPEC dapat melanjutkan penjualan minyak mentah. Termasuk seberapa cepat Washington akan mengizinkannya untuk meningkatkan produksi.
“Beberapa menit masalah teknis, politik, hukum dan praktis tetap ada. Tidak ada tugas yang mustahil bagi negosiator dan tidak ada jalan buntu,” kata Khatibzadeh.
Minyak mentah Brent naik satu persen menjadi lebih dari Rp 1 juta per barel pada pukul 8:50 pagi. Di London, memperpanjang kenaikannya tahun ini menjadi 42 persen. Pedagang telah mendorong kembali perkiraan mereka untuk kembalinya minyak Iran karena pembicaraan masih berlarut-larut.
Kekuatan dunia sedang mencoba untuk menghidupkan kembali perjanjian 2015 yang ditinggalkan AS tiga tahun lalu. Ini membatasi kegiatan atom Teheran dengan imbalan bantuan.
Pada hari Sabtu, utusan utama Iran di Wina, Abbas Araghchi, mengatakan kesepakatan tidak mungkin terjadi sebelum pemilihan presiden di negaranya Jumat ini. Presiden Hassan Rouhani -yang merundingkan kesepakatan awal tahun 2015 akan meninggalkan jabatannya pada Agustus setelah menjalani dua periode.
Dia secara luas diperkirakan akan digantikan oleh Ebrahim Raisi, seorang ulama yang umumnya dianggap bermusuhan dengan AS.
Namun, Juru Bicara pemerintah mengatakan pekan lalu bahwa keputusan untuk mencoba menghidupkan kembali kesepakatan itu dibuat oleh Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei dan tidak akan terpengaruh oleh kepergian Rouhani.