REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Moh Najih, menyampaikan sejumlah masukannya terkait rencana perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Ombudsman menyoroti sejumlah hal di dalam perubahan UU ASN, salah satunya di dalam pasal 105 tentang kaitannya dengan bagaimana pemutusan hubungan perjanjian kerja.
"Ini perlu memperhatikan kaitannya dengan policy-policy yang dipandang perlu baik pemerintah maupun lembaga legislatif. Jangan sampai di dalam setiap pengambilan kebijakan itu menimbulkan dampak negatif baik itu bagi pegawai berstatus PPPK maupun berstatus honorer," kata Najih dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR yang dipantau secara daring, Senin (28/6).
Ombudsman juga menyoroti soal pasal 131 huruf A yang mengatur tentang pengalihan tenaga honorer pegawai tidak tetap, pegawai tetap non PNS, pegawai pemerintah non pegawai negeri, dan tenaga kontrak menjadi ASN. Najih mengatakan perlu ada penegasan bahwa pegawai yang dialihkan status pegawainya menjadi ASN haruslah pegawai yang bekerja di institusi pemerintah baik di pusat maupun daerah.
"Status ini sangat penting mengingat jangan sampai ketika ada perubahan pengaturan mengenai pengalihan status ini terjadi polemik ketidakpastian di dalam menelaah memilih memilah tentang status pegawai honorer," ujarnya.
Selain itu, dirinya juga menyoroti wacana pembubaran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dalam rencana perubahan UU 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil negara (ASN). Menurutnya lembaga atau institusi yang bertugas untuk mengawasi kinerja ASN tetap diperlukan.
"Catatan Ombudsman, tetap diperlukan siapa institusi yang akan melaksanakan tugas dan fungsi dan kewenangan pengawasan dan penjatuhan sanksi dalam kaitan apabila adanya tindakan-tindakan indisipliner yang dilakukan oleh ASN," tuturnya.
Terakhir Ombudsman mengusulkan agar penyebutan kedudukan pimpinan ombudsman di UU ASN nantinya sebagai pejabat negara. Pertimbangannya, Najuh menilai fungsi dan tugas kewenangan Ombudsman yang luas belum dapat dimaksimalkan karena selalu terbentur dengan budaya hierarkis birokrasi serta posisi protokol Ombudsman yang kurang diperhatikan.
"Bahwa pimpinan Ombudsman perlu dipertimbangkan sebagai representasi pejabat negara yang diberi tanggung jawab menjalani tugas pokok dan fungsi kelembagaan negara Ombudsman Republik Indonesia," ucapnya.