REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah sedang memetakan skema pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) multitarif. Hal itu dilakukan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo memerinci skema rancangan pengenaan PPN yang baru, yakni tarif umum dikenakan tarif 12 persen terhadap kompensasi penurunan penerimaan PPh Badan. Kemudian tarif rendah lima atau tujuh persen dan barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pangan dasar rumah tangga dijaga agar tetap terjangkau, sehingga dikenai tarif lima persen.
"Kira-kira RUU nanti, saat ini Undang-undang mengatur tarif PPN 10 persen. Kita mengusulkan ada penyesuaian tarif karena tadi dibanding negara lain kita masih jauh. Tetapi nanti bisa di atasi dikompensasi dengan multitarif," ujarnya saat webinar RUU PPN terhadap Industri Strategis Nasional, Kamis (1/7).
Menurutnya, beberapa negara telah menerapkan tarif PPN multitarif. Misalnya barang-barang yang dibutuhkan kelompok masyarakat banyak tidak dipungut PPN. Begitu pun terhadap barang dan jasa yang hanya digunakan oleh segelintir orang seperti orang kaya baru dikenakan PPN.
Sedangkan jasa tertentu seperti pendidikan dan angkutan penumpang dikenai tarif 7 persen untuk menjaga agar jasa tetap berkualitas dan terjangkau.
"Ini yang kita rancang, dengan demikian kalau sekarang semua barang kena 10 persen, kelak kita bisa mengatur kalau kebutuhan susu, perlengkapan bayi, perlengkapan perempuan, perlengkapan sekolah sekarang kena 10 persen kelak bisa terapkan lima atau tujuh persen itu yang sebenarnya ini diakomodasi," ungkapnya.
Selanjutnya tarif tinggi sebesar 15 persen sampai 25 persen terhadap barang yang tergolong mewah atau sangat mewah. Hal ini dilakukan untuk memberikan keadilan lantaran kebutuhan ini dikonsumsi oleh orang kaya, contoh rumah, apartemen mewah, barang mewah seperti tas, sepatu, arloji dan berlian.
Di samping itu, ada PPN final satu persen. Dengan begitu, ritel termasuk pertanian perkebunan dan lain-lain yang sulit administrasinya bisa dikecualikan dari administrasi umum pajak.
"Kami tegaskan sekali lagi yang pertama reformasi PPN itu lebih ingin mengurangi ketidakadilan kita ingin membuat sistem yang lebih baik, lebih fair. Hal ini tidak akan menyelesaikan masalah, tentu tidak karena akan dilapisi dengan kebijakan-kebijakan lagi," ucapnya.