Jumat 02 Jul 2021 23:14 WIB

Pakar Pertanyakan Kebijakan Kapasitas 70 Persen Transportasi

Pakar hukum nilai kebijakan beroperasinya transportasi umum tak selaras PPKM Darurat

Rep: Mabruroh/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Penumpang menaiki KRL Commuter Line di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (1/7/2021). Pemerintah akan menerapkan PPKM Darurat di Pulau Jawa dan Bali mulai 3 Juli mendatang, salah satunya membatasi penumpang transportasi umum maksimal 70 persen dari kapasitas serta pelaku perjalanan yang menggunakan moda transportasi jarak jauh harus menunjukkan kartu vaksin dan PCR H-2 untuk pesawat serta antigen (H-1) untuk moda trasnportasi jarak jauh lainnya.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Penumpang menaiki KRL Commuter Line di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (1/7/2021). Pemerintah akan menerapkan PPKM Darurat di Pulau Jawa dan Bali mulai 3 Juli mendatang, salah satunya membatasi penumpang transportasi umum maksimal 70 persen dari kapasitas serta pelaku perjalanan yang menggunakan moda transportasi jarak jauh harus menunjukkan kartu vaksin dan PCR H-2 untuk pesawat serta antigen (H-1) untuk moda trasnportasi jarak jauh lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Andri W Kusuma mempertanyakan kebijakan transportasi umum yang masih bisa beroperasi dengan kapasitas 70 persen. Menurutnya, kebijakan ini kurang selaras dengan PPKM darurat yang tengah dikencangkan pemerintah dalam dua pekan ini.

"WFH sudah 100 persen, sekolah tidak jadi offline, ada satu faktor yang membuat saya terganggu, itu transportasi masih dibolehkan 70 persen, ko masih boleh? harusnya transportasi stop juga," kata Andri dalam sambungan telepon, Jumat (2/7).

Dengan meniadakan transportasi umum, menurut Andri akan meminimalkan pergerakan masyarakat dan membuat masyarakat tetap di rumah. Karena dalam sudut pandangnya, selama masyarakat bergerak maka semain sulit menekan tingkat penyebaran virus.

"Dengan tidak ada transportasi umum, orang mau gerak males, itu menurut saya titik poin pemerintah dalam menerapkan PPKM darurat ini, karena selama orang itu dimungkinkan bergerak, selama itu juga pandemi tidak akan mungkin bisa ditekan kurvanya," ujar Andri.

Menurutnya, selama transportasi tidak ditutup sama halnya dengan memberi cela bagi masyarakat untuk bepergian. Andri berharap, pemerintah mengkaji lagi kebijakan mengenai transportasi di tengah  pengetatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

"PPKM darurat masih ambigu, satu sisi di tutup cuma ko transportasi masih boleh, orang masih bisa bergerak, KRL itu kan makan waktu 20-30 menit dalam satu gerbong (bisa terjadi penyebaran), atau satu bus itu bisa menularkan," ucapnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement