REPUBLIKA.CO.ID, PORT AU PRINCE -- Pasukan keamanan Haiti terlibat baku tembak pada Rabu (7/7) dengan penyerang yang membunuh Presiden Jovenel Moise di kediamannya. Polisi membunuh empat tentara bayaran dan menangkap dua pelaku lainnya.
Direktur Jenderal Polisi Leon Charles mengatakan, polisi akan terus melakukan operasi hingga semua pelaku pembunuhan presiden tertangkap. "Kami memblokir mereka dalam perjalanan saat mereka meninggalkan TKP. Sejak itu, kami bertarung dengan mereka," ujarnya.
Presiden Moise yang menjabat pada 2017, ditembak mati. Sementara istrinya, Martine Moise, terluka parah ketika pembunuh bersenjata berat menyerbu rumah pasangan itu di Port-au-Prince sekitar pukul 1 pagi waktu setempat.
Duta Besar Haiti untuk Amerika Serikat, Bocchit Edmond, mengatakan, orang-orang bersenjata itu menyamar sebagai agen Administrasi Penegakan Narkoba AS (DEA) ketika mereka memasuki kediaman Moise yang dijaga ketat. Edmond menduga pelaku pembunuhan adalah tentara bayaran asing dan pembunuh terlatih.
Pembunuhan ini mendapat kecaman dari Washington dan negara-negara Amerika Latin. Pemerintah mengumumkan keadaan darurat selama dua minggu untuk memburu para pembunuh.
Perdana Menteri sementara Claude Joseph mengatakan, orang-orang bersenjata itu berbicara bahasa Inggris dan Spanyol. Joseph mengambil alih kepemimpinan negara untuk sementara. "Saya menyerukan ketenangan. Semuanya terkendali. Tindakan barbar ini tidak akan dibiarkan begitu saja," kata Joseph.
Joseph mengatakan, ibu negara telah diterbangkan ke Florida untuk perawatan dan dia dalam kondisi stabil. Presiden AS Joe Biden mengecam pembunuhan itu. Dia menyebut pembunuhan itu sangat keji. "Kami siap membantu saat kami terus bekerja untuk Haiti yang aman dan terlindungi," kata Biden.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan komitmen Washington untuk bekerja dengan pemerintah Haiti dalam mendukung pemerintahan yang demokratis, perdamaian, dan keamanan. Banyak orang di Haiti ingin Moise mundur dari jabatannya.
Sejak Moise mengambil alih pemerintahan pada 2017, dia menghadapi seruan untuk mengundurkan diri dan protes massa. Dia menghadapi tuduhan korupsi dan pengelolaan ekonominya, kemudian atas cengkeramannya yang meningkat pada kekuasaan.
Haiti telah berjuang untuk mencapai stabilitas sejak jatuhnya kediktatoran dinasti Duvalier pada 1986. Negara tersebut telah bergulat dengan serangkaian kudeta dan intervensi asing.