Selasa 13 Jul 2021 19:01 WIB

Pencapaian Kedekatan Pada Allah, Seperti Apa Cirinya?

Pencapaian Kedekatan pada Allah, Seperti Apa Cirinya?

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Amal baik karena Allah SWT (ilustrasi)
Foto: republika
Amal baik karena Allah SWT (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Kebahagiaan manusia itu sejatinya ada dalam pengetahuannya tentang Allah (Ad-Dayyan) dan ketaatan pada Sang Maha Kasih (Ar-Rahman). Yakni dengan melakukan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan-Nya.

Menurut Syekh Al-Izz bin Abdus Salam dalam kitab Syaratul Maarif menjabarkan, bahwa untuk mengikuti perintah Allah maka manusia perlu memulainya dengan perbaikan hati. Sebab dari sanalah sumber segala kebaikan, segala dosa, dan permusuhan.

Baca Juga

Jika hati telah rusak dengan kejahilan dan kekafiran, maka seluruhnya akan rusak pula dengan maksiat dan keingkaran. Dijelaskan bahwa baiknya hati itu ada dua, pertama yakni terbatas (seperti ilmu dan keyakinan). Dan yang kedua, transitif (mempengaruhi yang lain), seperti keinginan untuk rendah hati dan berbuat baik.

Syekh Al-Izz menjelaskan, di antara kelembutan sifat Sang Maha Rahman adalah bahwa Dia tidak memerintahkan sesuatu pun kepada makhluknya kecuali di dalamnya terdapat maslahat kebaikan dunia maupun akhirat. Ataupun salah satu di antaranya.

Dan tidaklah pula Dia melarang sesuatu kecuali dari sesuatu yang mengandung mafsadat (unsur-unsur merusak) untuk dunia maupun akhirat atau salah satu di antaranya. Sedangkan maslahat itu, kata Syekh Al-Izz, adalah kelezatan atau penyebabnya, kegembiraan atau penyebabnya.

Sementara mafsadat adalah kepedihan atau penyebabnya, kesedihan atau penyebabnya. Maka jika ada sebuah perkerjaan yang mencakup maslahat dan mafsadat, maka hendaknya dilakukan yang lebih kuat dari salah satunya.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement