REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral 20 negara ekonomi terbesar dunia, Group 20 atau G20, menyepakati arsitektur perpajakan internasional yang lebih adil dan stabil. Hal tersebut dinamai Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation and Globalization of the Economy.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, kesepakatan sistem perpajakan internasional tersebut menunjukkan keberhasilan pendekatan multikulturalisme dalam mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi khususnya terkait base erosion profit shifting (BEPS).
"Kesepakatan itu mencakup dua pilar yang bertujuan memberikan hak pemajakan lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi (BEPS) akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi," ujar Febrio dalam keterangan resmi seperti dikutip Jumat (16/7).
Febrio menjelaskan, pilar pertama dari kesepakatan ini membuat Indonesia berkesempatan mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima sekitar 100 perusahaan multinasional yang menjual produknya di Tanah Air. Adapun syaratnya, perusahaan multinasional ini berskala besar yaitu minimal 20 miliar dolar AS dan memiliki tingkat keuntungan yang tinggi yakni minimal 10 persen sebelum pajak.
Selanjutnya, kesepakatan pilar kedua ditujukan untuk mengatasi isu BEPS. Yaitu memastikan perusahaan multinasional dengan minimal omzet konsolidasi sebesar 750 juta dolar AS membayar pajak penghasilan dengan tarif minimal 15 persen di negara domisili.
Pilar kedua untuk menghilangkan adanya persaingan tarif pajak yang tidak sehat atau Race to the Bottom, sehingga diharapkan menghadirkan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan inklusif. Adanya batasan atau threshold tersebut, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan tambahan pajak dari perusahaan multinasional domisili Indonesia yang memiliki tarif pajak penghasilan efektif di bawah 15 persen.
Di samping potensi manfaat, pilar kedua juga berdampak pada kebijakan insentif pajak penghasilan pemerintah yakni penerapan tarif pajak efektif kurang dari 15 persen harus didesain ulang menyesuaikan dengan pilar ini.
"Pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menerapkan insentif pajak dengan tarif yang lebih rendah dari 15 persen dengan tujuan seperti menarik investasi, sehingga keputusan investasi tidak lagi berdasarkan tarif pajak namun berdasarkan faktor fundamental," ucapnya.
Febrio melanjutkan, sistem perpajakan internasional ini selaras dengan reformasi perpajakan nasional. Di antaranya, bertujuan untuk meningkatkan basis pemajakan secara adil, sehingga mampu mengoptimalkan sumber penerimaan domestik. Adapun penyebab turunnya rasio pajak terhadap PDB Indonesia karena belum mampunya sistem pemajakan menangkap peningkatan aktivitas ekonomi yang salah satunya karena BEPS.
Berdasarkan OECD, 60 persen hingga 80 persen perdagangan internasional merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional yang ditujukan untuk menghindari pajak dengan cara memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah. Adapun kerugian potensi pajak negara-negara secara global diperkirakan sebesar 100 miliar dolar AS sampai 240 miliar dolar AS atau setara dengan 4 persen sampai 10 persen PDB global.
"Laporan wajib pajak di Indonesia menunjukkan 37 persen sampai 42 persen PDB merupakan transaksi afiliasi yang jika dibiarkan akan merugikan perpajakan dalam negeri," kata Febrio.