Rabu 21 Jul 2021 14:10 WIB

Pengalaman Muslimah WNI di Norwegia Kala Hadapi Pandemi

Penanganan pandemi Covid-19 di Norwegia bisa menjadi contoh.

Suasana Norwegia di tengah pandemi
Foto: Savitri Icha Kairunnisa
Suasana Norwegia di tengah pandemi

REPUBLIKA.CO.ID, Seorang Muslimah warga negara Indonesia (WNI) yang kini tinggal di Norwegia, Savitri Icha Khairunnisa, terasa sejuk untuk menyemangati warga Indonesia, khususnya ditujukan kepada anggota keluarganya, yang berada di Tanah Air untuk tabah menghadapi ujian pembatasan darurat.

Apalagi, sama dengan dirinya yang tinggal di belahan wilayah Eropa bagian utara itu, hidup dalam kondisi terkurung juga dialaminya. Bahkan, di sana, pembatasan kegiatan masyarakat malah lebih ketat, yakni lockdown. Norwegia dalam setahun terakhir melakukannya berulang kali.

Icha menceritakan, kini sudah sudah seminggu menerima vaksinasi dosis pertama. Syukurnya semua berjalan baik. “Alhamdulillah, sejauh ini baik-baik saja. Satu-satunya keluhan hanya rasa pegal dan sedikit nyeri (kemeng dalam bahasa Jawa) selama dua hari. Setelah itu, ya. biasa saja. Enggak ada demam, pusing, ngantuk, atau lapar. Kalau yang terakhir ini, tanpa vaksin pun saya memang lapar saja bawaannya," katanya dengan nada riang dalam perbincangan dengan Republika beberapa hari lalu.

Kemudian, mengenai jenis vaksin Covid-19 yang diterimanya, Icha mengaku mendapat vaksin Pfizer-Biontech. "Saya dapat vaksin itu karena di Norwegia hanya ada vaksin itu saja."

Lalu, ketika ditanya apakah merasa dirinya beruntung mendapatkan vaksin yang konon lebih tinggi tingkat efikasinya, Icha menjawab sama saja. ”Well, buat saya, beruntung itu adalah ketika kita ingin divaksin, vaksinnya ada saat itu juga dan kita bisa divaksin. Selain itu tentunya gratis. Lagi pula, saya percaya semua vaksin yang beredar di seluruh dunia sudah terbukti efikasinya. Dengan perkecualian Vaknus yang kontroversial itu. Soal tinggi atau rendah, toh, vaksin apa pun menawarkan dosis kedua untuk booster.”

Dia lalu menceritakan proses vaksinasi di Norwegia yang dapayt berjalan efisien dan efektif. Semua warga mendukungnya. Dan kenyataan ini tak berbeda dengan informasi yang dia terima dari keluarganya di Indonesia. "Bedanya, prosedurnya lebih panjang. Di sana, untuk mendapatlan suntikan vaksin, warga harus mendafar secara daring terlebih dulu."

"Sesudah mendaftar, baru itu prosesnya sama dengan Indonesia. Saat pendaftaran, kita harus melengkapi informasi seputar kesehatan diri sendiri, khususnya usia, alergi, dan penyakit bawaan. Mereka yang punya penyakit bawaan akan masuk daftar prioritas. Ini seperti dialami rekan WNI lainnya, yakni Pak Faisal yang memang punya asma. Maka dia sudah terlebih dahulu dapat dua dosis vaksin. Jadi, ketika vaksin tersedia maka kita akan dapat panggilan via SMS.”

Kemudian bagaimana cara warga Norwegia menghadiri proses vaksinisasi? Icha menjelaskan, itu dilakukan dengan ketat. “Aturan penyuntikan vaksin Covid-19 di Norwegia, kita hanya boleh masuk gedung vaksin paling awal lima menit sebelum jadwal. Kalau kita datang terlalu awal maka dipersilakan menunggu di luar gedung atau di mobil. Tak boleh ada kerumunan.”

“Dan karena karena alokasi waktu yang efisien itu maka saya hanya sempat duduk lima menit sebelum nomor antrean saya dipanggil.

Proses pemberian vaksin dilaksanakan di ruang tertutup. "Untungnya saya dapat juru vaksin perempuan. Jadi, tak masalah ketika harus menyingsingkan lengan kiri,’’ ujar perempuan yang mengenakan jilbab ini.

Nah, seleksi disuntik vaksin yang berlangsun sangat singkat itu, Icha mengaku  diminta duduk di ruang tunggu selama 20 menit. Bila tidak ada keluhan apa-apa, bisa langsung pulang tanpa pamit lagi. “Oya, program vaksinasi di Norwegia banyak menyertakan para sukarelawan dari Palang Merah Norwegia.”

Icha menegaskan, sebagai orang yang meyakini bahwa Covid-19 ini nyata, dia dan suami sejak awal memang bersemangat untuk ikut vaksin. Semuanya antusias untuk menunggu giliran mendapat suntikan vaksin.

“Kami paham dan sadar, di tengah pandemi yang belum jelas kapan selesainya, korban sudah semakin banyak berjatuhan. Kondisi banyak negara morat-marit, bahkan beberapa kepala negara besar atau maju sampai harus berjiwa besar meminta maaf kepada rakyat atas kegagalan mereka dalam mengatasi pandemi. Maka, adanya vaksin adalah secercah cahaya untuk keluar dari lorong gelap ini. Vaksin adalah ikhtiar tiap individu dewasa di mana pun untuk melindungi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya,’’ ungkap Icha lagi.

Untuk negara sekecil Norwegia yang penduduknya hanya 5,4 juta jiwa, lanjut Icha, baginya proses vaksinasi terasa berjalan sangat lambat. Sejak awal diluncurkan akhir Desember 2020, orang dalam kelompok usianya (39-44 tahun dan tanpa komorbid) baru mendapat giliran pekan lalu. Selain itu, memang ada kesepakatan di antara negara-negara Uni Eropa dan EEC bahwa vaksin yang (ketika itu) masih terbatas, harus dibagi secara proporsional sesuai jumlah penduduk dan kondisi pandemi di negara tersebut.

Akibat adanya aturan itu, Norwegia yang berpenduduk sedikit dan kondisi pandeminya teratasi dengan cukup baik, mąką mereka akan mendapat jatah yang vaksin sedikit juga. “Sempat cukup banyak yang mengeluhkan hal ini meski akhirnya bisa maklum semua. Orang Norwegia ini aslinya memang nerimoan. Lebih nerimo daripada orang Jawa.”

Maka, kata Icha, vaksinasi di Norwegia berjalan seperti istilah dari pepatah tinggalan Belanda: biar lambat asal selamat. “Alhamdulillah, akhirnya kami dapat jatah vaksin juga. Per hari ini, cakupan vaksin di Norwegia untuk dosis pertama sudah 74,2 persen. Sudah hampir mumpuni untuk mencapai herd immunity. Demikian pula kondisi mayoritas negara-negara Eropa dan negara maju lainnya."

Pengalaman Mengalami Lockdown di Norwegia

Terkait soal pembatasan kegiatan masyarakat akibat meluasnya pandemi, Icha mengatakan bila dirinya dan warga Norwegia lainnya malah mengalami lockdown tak hanya sekali. Bahkan, status lockdown yang jauh lebih berat dari sekedar pembatasan darurat seperti di Indonesia dilaksanakan sebanyak dua kali, yakni selama Maret 2020 dan Maret 2021.

“Alhamdulillah, meski kebebasan kami dibatasi, Pemerintah Norwegia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebutuhan rakyatnya. Dibanding Indonesia memang akan susah karena penduduknya sangat besar jumlahnya.”

Dia juga menceritakan akibat pandemi, banyak sekali warga Norwegia yang terkena PHK atau dirumahkan sementara akibat ketidakpastian ekonomi. Dan Pemerintah Norwegia tidak tinggal diam. Melalui departemen tenaga kerja dan sosial, orang-orang bernasib seperti ini dapat "gaji" 80 persen dari total gaji bulanannya selama mereka di rumah.

“Pemerintah Norwegia bekerja keras menjamin kehidupan rakyat. Kami hanya harus berdiam di rumah, keluar hanya untuk belanja kebutuhan sehari-hari atau cari udara segar, itu pun dibatasi hanya lima orang dari rumah yang sama.”

Satu-satunya perbedaan prokes di Norwegia dengan Indonesia adalah tidak adanya kewajiban bermasker sejak awal pandemi. Masker hanya berupa anjuran bila tidak mungkin menjaga jarak minimal 1 meter (misal di kendaraan umum, khususnya di kota besar seperti Oslo).

“Kewajiban bermasker hanya dikenakan sebulan (Maret  2021) ketika gelombang ketiga menyerang Norwegia. Selebihnya kami bisa menghirup udara segar tanpa penutup wajah. Anak sekolah sekolah pun bisa tatap muka penuh hingga bulan Juni kemarin karena libur panjang musim panas. Selebihnya kurang lebih sama dengan di tempat lain, tidak boleh berkumpul dan berkerumun,’’ katanya.

Apa ada sanksi ketika ditemukan warga yang melakukan pelanggaran prokes? Icha menjawab, bila berani melanggar, siap-siap saja masuk penjara atau kena denda. Dan tak tanggung-tanggung, perdana menteri Norwegia tanpa terkecuali terkena sanksi atau hukuman atas pelanggaran prokes.

Sanksi Hukum Pelanggar Prokes

Mengenai penegakan hukum di Norwegia atas aturan protokol kesehatan (prokes) Covid-19, Icha menuturkan mampu dilaksanakan dengan seadil-adilnya tanpa Pandang bulu.

“Jadi, tak hanya rakyat biasa saja yang terkena sanksi karana melanggar prokes Covid-19. Ibu perdana menteri Norwegia terkena denda hukum hingga harus membayar sampai NOK 20 ribu. Ini karena dia mengadakan pesta ulang tahun meski saat itu "hanya" mengundang 15 orang saja. Atas kasus itu, pihak kepolisian tetap menyatakan ibu perdana menteri bersalah. Sanksi itu makin besar terlebih karena dialah yang membuat aturan selama pandemi. Denda pun dibayar, ibu perdana menteri Norwegia secara terbuka meminta maaf kepada seluruh rakyat,’’ katanya.

Icha mengharapkan, becermin pada kasus Norwegia dałam menghadapi pandemi, kekompakan dan keadilan menjadi hal utama. Dan selaku warga negara asing yang tinggal di Norwegia, ia melihat sendiri secara langsung kekompakan antara pemerintah dan rakyat Norwegia yang patut diacungi jempol empat.

"Pemerintah yang tegas, jujur, adil, dan tidak korup serta masyarakat yang taat hukum, membuat penderitaan pandemi ini dirasakan bersama. Istilah Inggrisnya: we're facing the same storm, and we're going to ride that storm in the same boat (kita menghadapi badai yang sama, dan kita akan menghadapi badai itu dengan perahu yang sama).”

Akhirnya, Icha berharap kekompakan itu terjadi juga di tanah airnya, Indonesia. ’’ Ingat kita masih punya yang Mahakuasa. Maka tetaplah semangat, taati prokes, jaga kesehatan diri dan keluarga, saling bantu, serta jangan putus berdoa, teman-teman,’’ tandas Savitri Icha Khairunnisa.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement