REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Menteri Hukum Malaysia Takiyuddin Hassan mengumumkan negara itu tidak akan memperpanjang keadaan darurat nasional, Senin (26/7). Pemberlakukan status tersebut telah diterapkan berbulan-bulan dan akan berakhir pada 1 Agustus.
Takiyuddin mengatakan pemerintah tidak akan meminta Raja Malaysia Yang di-Pertuan Agong Abdullah untuk memperpanjang keadaan darurat. Dia berbicara di parlemen yang telah ditangguhkan karena keadaan darurat, namun mesti tetap bersidang untuk sesi khusus pada Senin.
Malaysia adalah monarki konstitusional. Raja memiliki peran seremonial, melaksanakan tugasnya dengan saran dari perdana menteri dan kabinet. Tetapi raja juga memiliki kekuatan untuk memutuskan apakah keadaan darurat harus diumumkan.
Negara Asia Tenggara itu telah berada di bawah aturan darurat sejak Januari. Keputusan tersebut diterapkan untuk mengekang penyebaran Covid-19. Namun para kritikus mengecam langkah itu dan menuduh Perdana Menteri Muhyiddin Yassin berusaha mempertahankan kekuasaan di tengah suara mayoritas yang tipis.
Terlepas dari keadaan darurat dan penguncian yang ketat, pandemi Covid-19 di Malaysia semakin memburuk sehingga memicu kemarahan publik. Malaysia melaporkan rekor jumlah kasus pada Ahad (25/7). Kondisi ini menjadikan jumlah total infeksi melewati 1 juta dan tingkat infeksi per kapita adalah yang tertinggi di kawasan ini.
Muhyiddin telah memerintah dengan mayoritas tipis dan memimpin koalisi penguasa yang tidak stabil sejak berkuasa pada Maret 2020. Partai UMNO yang merupakan partai terbesar Malaysia dan sekutu kunci dalam koalisi, menarik dukungan untuk Muhyiddin awal bulan ini.
Meski demikian, Jaksa Agung Malaysia mengatakan penarikan itu tidak akan mempengaruhi posisi Muhyiddin atau kabinetnya. Ini karena masalah mayoritas koalisi parlemen hanya dapat ditentukan oleh parlemen sendiri.
Sidang Istimewa parlemen saat ini akan berlangsung selama lima hari. Sejauh ini, belum ada indikasi akan digelarnya mosi tidak percaya.