Rabu 18 Aug 2021 18:45 WIB

Pengamat: Tidak Relevan Perubahan UUD di Tengah Pandemi

MPR mewacanakan amandemen UUD.

Pengamat: Tidak Relevan Perubahan UUD di Tengah Pandemi. Foto:  Gedung MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Pengamat: Tidak Relevan Perubahan UUD di Tengah Pandemi. Foto: Gedung MPR/DPR/DPD di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Universitas Andalas Feri Amsari menilai tidak ada hal yang mendesak terkait wacana Undang-undang Dasar (UUD) 1945 memerlukan perubahan atau amendemen terbatas untuk menambah kewenangan MPR menetapkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Rencana Amandemen itu bahkan membuka peluang MPR memiliki kewenangan memilih presiden.

"Jika disimak karena kondisi saat ini sedang pandemi tidak ada relevansi. Atau tidak ada hal yang mendesak atau urgensi untuk melakukan penambahan kewenangan mpr terutama di isu kewenangan membentuk PPHN atau GBHN dengan nama baru," ujar Feri yang berasal dari Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, Rabu (18/8).

Baca Juga

Feri menduga, pembahasan amandemen itu akan melebar. Meski pasal 37 UUD 1945 membatasi hanya membahas terhadap usul yang diajukan. Tetapi perlu diketahui dalam tata tertib MPR bisa sangat terbuka usul itu untuk masuk, sehingga bisa berkembang.

"Tidak ada kekuatan yang bisa mencegah mereka membahas lebih jauh. Bahkan di konstitusi juga tidak diatur kalau pembahasan di luar apa yang diusulkan apakah itu membuat konstitusi yang disahkan tidak sah atau tidak berlaku kan juga tidak," jelasnya.

Feri menyakini, amendemen Ini akan menjadi ruang permainan yang membuat pembahasan sangat melebar nantinya. Konsekuensinya, lanjutnya,  MPR akan merasa dirinya sebagai lembaga tertinggi. Sehingga nantinya lembaga itu akan membuka ruang kekuasaan lebih jauh.

"Bukan tidak mungkin akan mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR, atau menambah kekuasaan-kekuasaan lain yang menurut saya bersebrangan dengan arah reformasi demokrasi yang sudah kita lakukan sebelumnya," tambahnya.

Feri mengatakan jika MPR memiliki niat yang bak, seharusnya menggunakan hasil perubahan kelima UUD 1945 yang dibentuk l Komisi Konstitusi pada tahun 2002 untuk membuat draf perubahan kelima. 

Menurutnya, banyak hal yang jauh lebih baik daripada perubahan keempat. jika itu yang dibahas, lanjut Feri mungkin publik akanjauh menerima karena memang niatnya jauh lebih baik.

"Dibahas ya, MPR setuju tidak setuju saja. Jangan dibahas untuk kemudian mengembangkan kepada tujuan-tujuan yang ingin mereka lakukan secara politik," tegasnya.

Sebelumnya Ketua MPR Bambang Soestyo mengatakan telah berbincang dengan Presiden Joko Widodo soal rencana amandemen UUD 1945. Salah satu rencana perubahan terbatas ini adalah menyertakan pokok-pokok haluan negara atau PPHN.

Bamsoet, sapaan akrab Bambang, mengatakan PPHN ini akan diusulkan melalui Ketetapan atau TAP MPR. PPHN, yang dulu bernama GBHN, merupakan salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019. "Amandemen konstitusi menambahkan satu ayat di Pasal 3 tentang kewenangan MPR membuat dan menetapkan PPHN," kata Bamsoet pada Sabtu, 14 Agustus 2021.

MPR menyampaikan rencana amandemen ini dalam pertemuan dengan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor pada Jumat, 13 Agustus 2021. Pertemuan ini membahas rencana pidato kenegaraan pada Senin, 16 Agustus 2021

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement