REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai sebagai negara yang sangat rentan akan risiko perubahan iklim. Terbukti, perubahan iklim telah meningkatkan risiko bencana hingga 80 persen dari total bencana yang terjadi di Indonesia.
“Potensi kerugian ekonomi Indonesia (akibat perubahan iklim) dapat mencapai 0,66 sampai 3,45 persen dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) pada 2030,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin Ph.D saat menjadi pembicara pada acara webinar Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2021, Senin (23/8).
Menyadari hal itu, menurut Masyita, pemerintah Indonesia sejak lama telah berkomitmen untuk melakukan pengendalian perubahan iklim. Indonesia pun berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen pada tahun 2030.
Sayangnya mencapai komitmen itu bukanlah hal yang mudah. Masih terjadi celah pembiayaan yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen itu. Masih terdapat kekurangan 40 persen dari biaya yang dibutuhkan sepanjang 2020-2030, atau sekitar 148 miliar dolar AS.
Karena itulah, tambah Masyita, Indonesia saat ini sedang mempersiapkan Peraturan Presiden mengenai karbon yang mengatur mengenai nilai ekonomi karbon, pengenaan pajak karbon maupun pengembangan bursa perdagangan karbon.
“Ini dilakukan untuk mendorong investasi hijau, mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim, dan juga mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” kata Masyta.
CEO Indonesia Commodity & Derivatives Exchange Lamon Rutten yang juga menjadi pembicara di ajang ini, menyambut baik upaya pemerintah untuk memperkenalkan perdagangan karbon. Rutten menyataka, perdagangan karbon di bursa karbon telah diberlakukan selama hampir 2 dekade di Eropa, dan terbukti telah memberikan banyak keuntungan. Bahkan, secara global perdagangan karbon diestimasikan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50 persen.
Selain itu, perdagangan karbon juga dapat menciptakan kesempatan baru. Indonesia dapat mengambil keuntungan dari perdagangan karbon ini dengan mengekspor kredit karbonnya. Menurut Rutten, Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti hutan mangrove yang sangat luas, yang dapat menangkap sangat banyak karbon. Dan, itu bisa dilakukan dengan biaya yang rendah. Biayanya hanya kurang dari 11 dolar AS per ton karbon.
”Anda harus tahu, di Uni Eropa harganya karbon saat ini mencapai 64 dolar AS per ton,” kata Rutten dalam acara yang dipandu oleh CEO Landscape Indonesia Agus P. Sari, sebagai moderator.
Chief Strategy Officer, Star Energy Geothermal Agus Sandy Widyanto, menjelaskan, setiap tahun pihaknya dapat menghasilkan 1,4 juta ton karbon dalam bentuk karbon kredit, dan juga menghasilkan renewable energy certificate. Jumlahnya, sekitar 3 juta Megawatt hour per tahun.
“Inilah yang menjadi modal utama kami sebagai perusahaan swasta, dari industri pembangkitan, untuk berkontribusi dalam pencapaian transisi energi yang diinginkan pemerintah,” ujar Agus Sandy.
Sayangnya, ada beberapa kendala terkait energi terbarukan. Antara lain, adalah pendaftaran yang sangat kompleks dan biayanya sangat mahal, untuk mendapatkan sertifikasi energi hijau. Kendala lainnya yaitu dari segi harga. Menurut Agus Sandy, sejak 2019 hingga sekarang harga karbon kredit di pasar internasional terpuruk, dari sekitar belasan dolar AS per ton menjadi seat ini hanya sekitar 1 dolar AS per ton.
“Ini tentu sangat mengurangi kelayakan ekonomi proyek-proyek yang menggantungkan pada harga karbon internasional,” ujar Agus.
Chairperson, Yayasan IDH (The Sustainable Trade Initiative) Fitrian Ardiansyah menilai bahwa bagi pihak pemerintah maupun swasta, untuk menurunkan emisi karbon tidak mudah dan tidak murah. Mereka harus melakukan adaptasi terhadap manajemennya. Ini memerlukan investasi di awal. Karena itu dibutuhkan ide-ide yang baru misalnya penerbitan obligasi atau bond, seperti green bond, sehingga kemudian investasi bias masuk dan bunganya dapat dibayarkan melalui credit emission reduction.