REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Anang Zubaidy, menilai wacana penambahan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam UUD 1945 akan menganulir sistem presidensial di Indonesia.
"Sama halnya kita menganulir kesepakatan kita sendiri untuk memperkuat sistem presidensial," kata Anang saat dihubungi di Yogyakarta, Selasa (24/8).
Anang menuturkan, memasukkan PPHN yang merupakan transformasi dari GBHN dalam UUD 1945 akan menempatkan kembali posisi MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Sedangkan presiden memiliki posisi sebagai mandataris MPR.
"MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara yang punya kewenangan mengawasi presiden dalam melaksanakan PPHN," kata Anang yang juga Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi UII (PSHK UII) ini.
Padahal struktur ketatanegaraan seperti itu, ujar dia, telah disepakati bersama untuk ditinggalkan pada masa reformasi. Dalam amendemen UUD 1945 pada masa reformasi telah disepakati bahwa MPR tidak lagi memilih presiden dan wakil presiden dan MPR tidak membuat GBHN.
"Dengan menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang punya kewenangan mengawasi presiden dalam melaksanakan PPHN sebagai mandataris MPR itu sama artinya kita kembali ke masa lalu yang sudah kita tinggalkan," katanya.
Menurut Anang, ada tahapan panjang yang seharusnya dilalui untuk menuju amendemen UUD 1945. Masyarakat harus dilibatkan dan dimintai pertimbangan mengenai urgensi melakukan amendemen hingga dipastikan apa yang perlu diamendemen.
"Harus berangkat dari bawah. Masyarakat ditanya terlebih dahulu, kalangan akademisi, serta kelompok masyarakat sipil ditanya kira-kira agenda amendemen yang akan kita lakukan apa. Tapi itu kan saat ini tidak ada, yang ada top-down sebagai inisiatif MPR," ujarnya.
Ia mengatakan amendemen UUD 1945 seperti yang diwacanakan Ketua MPR Bambang Soesatyo bukan agenda mendesak yang perlu dibicarakan saat ini, apalagi masih dalam situasi pandemi Covid-19. "Sekarang saja masyarakat masih sulit mencari uang, mencari makan, kok masih disuruh mikir amendemen," tutur Anang.
Selain itu, ia khawatir selain terkait PPHN, wacana amendemen UUD 1945 bisa merembet pada agenda lain karena tidak ada yang dapat menjamin prosesnya bakal berlangsung secara transparan dan partisipatif. "Saya pribadi khawatir preseden pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja terulang, dilakukan tertutup dengan alasan pandemi kemudian rapat-rapat dilaksanakan secara online, akses masyarakat terbatas, kemudian partisipasi dipertanyakan," ujarnya.