REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif Harun Al Rasyid menyebut, ada banyak cara untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Kata dia, OTT tidak hanya terjadi karena penyadapan terhadap terduga koruptor.
"Penyadapan itu hanya satu cara dan sejak 10 tahun ke belakang, penyadapan itu hanya menyumbang tidak lebih dari 10-15 persen saja terbongkarnya kasus," kata Harun Al Rasyid di Jakarta, Kamis (26/8).
Hal tersebut diungkapkan "Raja OTT" tersebut menanggapi pernyataan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang menyebut operasi senyap terjadi karena terduga koruptor yang disadap lembaga antirasuah melakukan kecerobohan. Hal itu membuat mereka dapat diikuti pergerakannya.
Dia menjelaskan, OTT yang biasa dilakukan KPK biasanya berawal dari penyelidikan tertutup dengan beragam teknik dan strategi seperti penguntitan, profiling, penyamaran, penyadapan, informan handling, accounting forensic dan cara lainnya. Lanjutnya, masing-masing teknik itu bisa digunakan secara bersama-sama atau sendiri.
"Investigator punya beragam cara mendapatkan bukti atau petunjuk untuk membongkar dan selanjutnya membungkus para TO (target operasinya). Bila investigator atau penyelidik hanya terpaku pada upaya penyadapan saja maka itu akan ketinggalan zaman," katanya.
Selama satu semester terakhir, KPK hanya melakukan satu kali OTT. Operasi senyap itu dilakukan terhadap Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif, Nurdin Abdullah
Alexander Marwata mengatakan, kalau operasi senyap yang dilakukan KPK biasanya diawali dari hasil sadapan. Tapi, di tengah pandemi Covid-19 pihaknya tidak bisa melakukan pengawasan terhadap nomor-nomor yang sudah terdaftar karena akan kewalahan.
Alexander menyalahkan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pandemi Covid-19 yang telah menghambat kinerja bidang penindakan dan eksekusi. Dia mengatakan, pandemi juga menghambat kerja-kerja KPK yang lainnya.